BAB 10 :: Kecewa

2.4K 349 44
                                    

Haikal : Lihat tindakan pengecut sahabat lo. Dia ngirim orang buat mukulin gue, cuma karena gue nurutin ngidamnya Rena. Padahal bukan salah gue. Dia terlalu sibuk sampai nggak bisa selalu ada buat istrinya.

Alvin terbelalak melihat foto yang baru saja dikirim sahabatnya. Potret wajah Haikal yang penuh lebam. Setahu Alvin, Haikal tidak pernah punya masalah dengan siapapun selain Erland. Otomatis yang Haikal maksud sahabatnya di sini adalah Erland. Tapi, apa benar Erland seburuk itu?

Alvin : Jangan bercanda, Kal. Erland nggak mungkin kayak gitu.

Haikal : Perlu bukti apa lagi? Muka gue yang bonyok ini belum cukup? Tapi, terserah lo sih. Gue tahu keburukan seperti apa pun yang Erland lakukan, pasti nol di mata lo karena dia sahabat lo. Gitu kan?

Alvin mengacak rambutnya frustrasi. Mana yang harus ia percaya sekarang? Haikal atau Erland? Seharian ini Alvin sudah dipusingkan dengan kondisi Alana, seakan tak cukup, masalahnya bertambah lagi.

Ucapan Haikal mungkin tidak sepenuhnya salah. Alvin tahu betul bagaimana Erland mencintai Renata sejak SMA dulu. Sahabatnya itu bisa berbuat apa pun. Didukung pula dengan sifat cemburuan dan pemarahnya. Bukan tak mungkin Erland berbuat nekat karena merasa posisinya terancam dengan kehadiran Haikal.

Tangan pria bermata sipit itu bergerak lincah mengetik sebuah pesan yang ditujukan untuk sahabatnya.

Alvin : Lan, gue mau ketemu. Penting.

***

Erland menggigit bibir bawahnya menahan nyeri tatkala Dokter Fabian menyuntikan sesuatu ke dalam selang infusnya. Padahal bukan kulitnya langsung yang ditusuk, tapi rasanya tetap menyakitkan. Yang lebih menyebalkan lagi Erland sama sekali tak boleh bersuara meloloskan rintihan, atau ayahnya di seberang telepon sana akan merasa cemas.

"Iya, Yah. Aku yang minta dokumennya di kirim ke rumah. Nanti pas aku pulang dari Bogor langsung aku tandatangani semua."

"Kamu nggak lagi bohongin Ayah 'kan, A?"

"Nggak kok, Yah. Aku tutup dulu, ya, soalnya sebentar lagi ada meeting. Assalamu'alaikum, Yah."

Setelah mendengar balasan salam, Erland langsung menutup sambungan teleponnya.

"Pelan-pelan kenapa, Dok, sakit banget ini," kata Erland kemudian lengkap dengan wajah tertekuk dan tatapan galaknya.

Karina yang sejak tadi mendampingi sang ayah kontan tertawa melihat ekspresi Erland. Menurutnya laki-laki itu terlihat sangat menggemaskan ketika memasang wajah kesal. Dan di saat bersamaan Karina pun menertawakan kebohongan Erland. Di Bogor katanya? Konyol. Sekarang dia bahkan terkapar di ranjang pesakitan.

"Sampai kapan kamu mau berbohong, Erland? Secepatnya kamu harus menjalani pengobatan atau bahkan operasi. Kamu tidak akan bisa mengurusi segala sesuatunya sendiri. Harus ada yang mendampingi."

Erland mengabaikan celotehan Dokter Fabian, dan memilih fokus pada ponselnya, membaca pesan yang masuk.

Alvin : Lan, gue mau ketemu. Penting.

"Dok, saya boleh pergi sebentar nggak? Setengah jam deh. Sahabat saya ngajak ketemuan."

Dokter Fabian menggeleng. "Untuk kali ini saja tolong patuhi saya, Erland. Kondisi kamu benar-benar tidak dalam keadaan baik."

"Ayolah, Dok. Cuma sebentar kok. Saya sahabatan udah lama nih sama dia. Selama itu juga saya nggak pernah ngecewain dia."

"Tidak, Erland."

Without youWhere stories live. Discover now