BAB 12 :: Membagi beban

2.6K 306 47
                                    

"Yah, ada apa?"

Erland bersuara memecah keheningan. Sejak beberapa menit yang lalu pertemuan mereka hanya didominasi dengan diam. Deru napas Erland yang berat serta pendek-pendeklah yang terdengar. Arlan menunggu putranya berkata jujur, sedangkan Erland sibuk menerka apa yang akan dibicarakan sang ayah.

"Apa ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan sama Ayah, A?" Arlan balik bertanya.

Erland memaksakan seulas senyum. "Ayah yang ngajak aku ketemu berdua aja di sini. Aku pikir ada hal penting yang mau Ayah bilang sama aku."

"Jangan bersikap seolah semuanya baik-baik aja, A. Mulut kamu bisa berkata bohong, sayangnya tubuh kamu berkata sebaliknya. Ayah pernah ada di posisi kamu ... dulu, tapi Ayah gagal. Dan sekarang Ayah yakin kalau kamu pun nggak akan berhasil membuat semua tetap terlihat baik-baik aja."

"Tentang apa sih, Yah? Aku baik-baik aja kok."

Arlan mengulurkan tangan. "Ini, ini, dan ini. Kamu nggak bisa bohong, A," kata Arlan sembari menyentuh beberapa bagian wajah putranya. Arlan baru benar-benar menyadari semuanya tatkala duduk berhadapan dengan Erland. Mata putranya itu tampak sayu, bibirnya putih pucat, dan gurat wajah yang semula tegas, kini terlihat kuyu. Rambut Erland yang sudah sedikit lebih panjang dari biasanya turut memperjelas menyusutnya berat badan lelaki itu.

Erland memilih kembali diam, seakan tak punya rangkaian kalimat yang tepat untuk berkilah dari pernyataan tegas sang ayah. Atau lebih tepatnya, ia enggan menjelaskan.

"Orang yang saat ini duduk di hadapan kamu adalah ayah kamu, A. Kalau orang-orang di rumah nggak bisa membuat kamu percaya untuk terbuka, Ayah bisa jadi pilihan pertama dan terakhir untuk kamu membagi luka."

Saluran napasnya terasa semakin menyempit. Sesaknya kian menjadi, bukan karena sakitnya, tapi karena ucapan ayahnya. Sejak dulu, meskipun terkesan dingin, tapi sang ayah memang paling mengerti dirinya. "Aku ... sakit, Yah," ujar Erland akhirnya dengan suara begitu lirih.

"Sakit apa?"

"Gastrointestinal stromal tumor."

Nama penyakit yang tertangkap indra pendengar Arlan, jelas bukan sakit yang main-main karena ia sadar kalau perubahan Erland tidak akan semenonjol ini jika penyakit itu tergolong ringan. Tumor memang tak selalu ganas, tapi kondisi Erland sekarang seolah menjawab semuanya. "Ayah akan menemani kamu melewati semuanya, A. Kalau waktu itu aja kamu berhasil kembali, sekarang kamu hanya perlu berjuang lebih keras untuk tetap bertahan." Arlan berusaha memberi ketenangan walaupun hatinya ketar-ketir.

"Yah, tapi Reina bilang nggak ada orang yang lolos dua kali dari maut."

"Dia hanya menakut-nakuti agar kamu hidup dengan baik."

Erland masih ingin bercakap-cakap lebih lama dengan sang ayah. Namun, rasa tak nyaman yang mengusiknya memaksa lelaki itu menunda keinginannya. "Yah, aku ke toilet sebentar," pamit Erland. Dengan tergesa ia bangkit dari duduknya kemudian melangkah cepat menuju toilet yang ada di kafe ini.

***

Tangan Renata gemetar membaca sepucuk surat yang di lempar seseorang ke dalam kamarnya. Bukan surat cinta atau apa pun itu yang berbau kebahagiaan, isi surat dalam genggamannya kini justru sebuah ancaman. Ancaman untuk Erland.

Without youWhere stories live. Discover now