BAB 14 :: Keraguan menyakitkan

2.1K 279 70
                                    

Prang!

Erland langsung menegakkan tubuh saat kaca jendela kamarnya pecah. Benda yang teronggok di lantai merebut penuh fokusnya sekarang. Ia berjalan, mengambil benda tersebut—yang ternyata batu berbalut sebuah foto. Foto istrinya, Reka, dan Haikal.

Perlahan, lo harus mulai mengakui kalau Renata cuma punya gue.

Foto tersebut segera disembunyikannya saat mendengar derap langkah mengarah ke kamarnya.

"A, astagfirullah. Ada apa ini?" Elena langsung panik melihat pecahan kaca tercecer di kamar putra sulungnya. Namun, Erland tak juga menjawab pertanyaannya.

Suara yang ditimbulkan dari aksi pelemparan itu cukup nyaring dan berhasil mengundang perhatian penghuni rumah. Mereka yang sejak pagi sudah sibuk di bawah, langsung berlarian ke sumber suara. Hanya Renata, Reina, dan Reka yang tidak ada.

"A kamu enggak apa-apa? Siapa yang melakukan ini?" Arlan ikut bersuara.

Pemuda berwajah pucat itu menggeleng. "Cuma kerjaan orang iseng mungkin, Yah. Nanti aku bersihin ini," sahutnya kemudian sembari berjalan ke arah tempat tidur. Kepalanya sedikit pusing karena bangun tergesa.

Kedua netra Elena menyipit melihat wajah putranya yang pucat. Perempuan itu berjalan mendekat, lalu mendaratkan punggung tangannya di dahi si sulung. "Badan kamu kok panas banget, A?"

"Enggak apa-apa, Bun."

"Enggak apa-apa gimana? Ini badannya panas. Wajah kamu juga pucat. Ngaca kalau enggak percaya," semprot perempuan itu lagi.

"Jangan dimarahin," cegah Arlan. Ia tahu betul putranya sedang tidak enak badan, dan malas berdebat.

Elena berdecak kesal. Setiap Erland dimarahi, Arlan dengan segera membela. Padahal ia mengomel pun demi kebaikan Erland. "Teteh ke mana, sih, A? Kamu sakit kok malah pergi."

"Keluar sebentar. Reka rewel, jadi diajak jalan-jalan dulu."

"Kamu tiduran lagi aja, A. Bunda bawain makanan sama obat ke sini. Biar pecahan kacanya nanti Bibi yang beresin. Sekalian panggil tukang buat betulin ini. Cek CCTV juga, jangan-jangan bukan cuma kerjaan orang iseng."

Arlan hanya menghela napas mendengar istrinya berceloteh panjang lebar. Begitu juga Erland. Mereka sama-sama berpikir kalau Elena tidak akan bisa dibantah.

***

"Bang, Abang udah tahu di mana Bagas? Ini bisa kita laporkan karena termasuk ancaman, 'kan?"

"Enggak akan segampang itu. Kita gak punya banyak bukti. Cuma berbekal selembar surat kaleng kayak gini kita bisa apa?"

Renata menghela napas. Benar juga apa yang dikatakan Haikal. Tidak akan semudah itu memenjarakan Bagas, apalagi orang tua Bagas adalah orang besar yang punya kuasa. Lalu bagaimana? Selama Bagas berkeliaran, hidupnya tidak akan aman.

Diam-diam Haikal tersenyum karena berhasil menjebak Renata dalam ketakutan. Dengan begitu, Renata pasti akan selalu meminta perlindungannya. Memperbesar kesempatan Haikal untuk memiliki perempuan itu seutuhnya.

"Dimakan lagi buburnya, Ren. Masalah Bagas nanti aja kita pikirin lagi."

Perempuan itu mengangguk, berusaha menghabiskan sarapannya sembari menyuapi Reka. Namun, Renata berubah panik saat menyadari bahwa ia sudah meninggalkan rumah terlalu lama. Apalagi Erland sedang kurang sehat di rumah. "Bang, pamit dulu, ya. Erland lagi sakit. Gue juga udah terlalu lama pergi."

Without youUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum