BAB 3 :: Akumulasi rasa takut

3.8K 484 194
                                    

Reina tak tahu kenapa semenjak kepergian sang kakak kemarin dirinya diliputi rasa cemas. Anehnya semua orang justru terlihat biasa saja, padahal Reina sadar betul kalau ada yang tidak beres dengan kepergian kakaknya yang tiba-tiba. Reka pun rewel. Mungkinkah hanya anak kecil sepertinya dan Reka saja yang menyadari keganjilan itu?

Masih sangat pagi. Reina mengambil ponselnya berniat menghubungi Erland. Hanya nada sambung yang terdengar, kakaknya itu tak juga mengangkat teleponnya.

"Aa kenapa sih? Angkat kek!" gerutunya.

"Hallo."

Akhirnya suara serak itu menyapa gendang telinganya. "Kenapa lama angkatnya, A? Aa baru bangun tidur?"

"Hm."

"Aa di mana sekarang?"

"Hotel."

"Loh kok? Bukannya kemarin Aa bilang mau pulang ada kerjaan? Kok sekarang di hotel?"

"Aa langsung ke luar kota."

"Aa sebenarnya ke mana? Jawab jujur! Gue tahu Aa pasti gak baik-baik aja."

Reina menghela napas ketika sang kakak memilih diam tak bersuara. Jelas sudah sekarang kalau terjadi sesuatu pada kakak sulungnya. Reina tidak tahu apa, tapi sepertinya tidak begitu baik. "A, tunggu kita pulang. Jangan ngelakuin hal bego. Ingat, jarang ada orang yang lolos dua kali dari maut!"

***

Erland melempar ponselnya sembarang setelah komunikasi singkat dengan adiknya. Kepalanya sangat sakit karena terlalu banyak minum. Perutnya kini bahkan terasa seperti terpanggang dalam bara api. Panas, sakit, perih. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya menahan sakit. Ia tidak tahu siapa yang membawanya ke tempat ini—yang jelas-jelas bukan rumahnya. Semalam Erland pasti mabuk berat sampai-sampai tidak menyadari apa yang terjadi padanya.

"Sudah sadar, Mas?" Seseorang masuk, kemudian bertanya pada Erland.

"Saya di mana?"

"Saya bartender yang semalam ingat? Mas di rumah saya karena semalam Mas mabuk berat dan tidak ada yang tahu tempat tinggal Mas. Lancang kalau kami nekat membuka dompet Mas untuk mencari kartu identitas."

"Terima kasih. Saya akan memberi biaya tambahan atas tumpangannya."

Lelaki itu menggeleng. "Gak usah, Mas. Saya ikhlas. Saya cuma mau kasih tahu Mas, jangan pernah datang ke tempat itu lagi seberat apa pun masalah yang Mas hadapi, karena menurut saya itu bukan penyelesaian."

Erland menghela napas berat. Benar apa yang orang itu katakan, seharusnya Erland tidak pernah menginjak tempat laknat itu. Bertingkah buruk dan menyiksa diri sendiri. Tapi, hatinya begitu sakit. Erland tidak ingin membahas masalah ini dengan Renata karena takut kalau kemarahannya akan menyebabkan sesuatu yang buruk terjadi pada Renata juga kandungannya dan konsekuensinya ia harus memendamnya seorang diri. Sebesar itu rasa sayangnya pada Renata. Sayang, sepertinya Renata tak sama.

"Apa semalam saya minum terlalu banyak?"

"Dengan Mas jatuh tak sadarkan diri sudah cukup menjelaskan betapa banyak jumlah minuman beralkohol yang Mas konsumsi."

Erland mendesah pasrah. Pantas saja perutnya seperti dipelintir dan kepalanya seakan habis dibenturkan ke tembok berkali-kali. Sakit. Semoga saja lambungnya tidak akan memprotes kelakuan buruknya semalam. Mudah-mudahan apa yang dirasakannya sekarang hanya efek mabuk semata. "Sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Saya permisi dulu," pamitnya sembari menyambar ponsel juga kunci mobilnya.

Without youTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon