6. Babak Belur (Sorot matanya)

171 28 5
                                    

Matamu, danau tenang

hijau pekat, dari lumut yang bersarangJika aku bercermin di permukaan, kau sekejap terang

Tadi pagi, Rahsya mengenalkan diri di depan kelas dengan singkat, padat, tetapi tidak jelas. Mulutnya seperti tidak dibuka saat bicara. Ia hanya menjawab pertanyaan guru dengan satu kata saja, benar-benar secukupnya. Sepertinya ia tidak berusaha atau bahkan tidak punya sekedar niat untuk mencoba membuat impresi baik sebagai pendatang. Ia hanya diam dan matanya yang berwarna coklat terang menghindari tatapan orang-orang dengan melihat ke luar jendela.

Topinya yang dipaksa dibuka memperlihatkan rambut hitam bergelombangnya, dengan beberapa helai poni yang jatuh di keningnya menutupi alis tebalnya. Beberapa detik kemudian, kaum hawa di kelasku saling bertatapan penuh makna, sambil mesem-mesem. Mereka belum tahu saja dia lebih horor daripada Atha, adik kelas yang suka diam di lorong sambil cekikikan (aku berniat merekrut dia menjadi teman sintingku).

"Silahkan memperkenalkan diri dulu ya, biar nantinya bisa akrab," ucap Pak Yoyo yang kebetulan sedang mengajar saat kami bertiga masuk kelas.

Rahsya masih diam. Pak Yoyo sudah mengangkat-ngangkat alisnya, yang mungkin berarti "kenapa nggak ngomong, heh?"

"Namanya siapa?" tanya Pak Yoyo, akhirnya mengalah.

"Rahsya." Hah? Tasya? Rasa? Asya? gumam semua orang memastikan apa yang baru saja didengarnya. Rahsya tidak mau mengulang ucapannya dan menulis namanya di papan tulis dengan spidol yang berdecit, saking kerasnya ia menekan ujung spidol.

Pak Yoyo sepertinya mencoba mengerti kalau Rahsya tak mau lama-lama berdiri di depan kelas, atau menulis lebih banyak kata di papan tulis sebagai pengganti ucapannya. Mungkin kalau ia menulis lebih banyak perkenalan, ujung spidol akan patah pada kalimat kedua yang ia tulis. Akhirnya, Rahsya duduk di bangku paling pojok dekat tembok, tanpa banyak bicara. Beberapa orang yang dilewatinya berusaha menyapa atau mengajak bersalaman, tetapi responnya hanya tatapan datar, dengan sedikit, sangat sedikit, senyum miring yang sepertinya susah payang ia coba lakukan kanan kiri. Sudah mulai terlihat kan, kesan horornya?

"Tadi yang lainnya baru bahas materi awal kok, kalian nggak kelewat banyak. Tapi, nanti ada tugas akhir kelompok dan karena kalian kelewat sesi pembagian kelompok, Bani, Tara, dan siapa tadi? –Rahsya, jadi kelompok baru ya, bertiga." Pak Yoyo berkata pada kami bertiga sebelum ia

meninggalkan kelas. Bani menatapku dan dari matanya ia mungkin berkata "Sial, sama anak baru rese itu." Aku membalas tatapan matanya dengan tatapan lain yang berarti "Asik, temen baru."

Bel berdering nyaring, membubarkan seisi kelas untuk segera menuju kantin atau membuka bekal makan siang. Hari Senin sepertinya jadwal makan siang harus lebih ngebut dari hari lainnya, karena kami harus berganti pakaian olahraga saat jam makan siang. Itu artinya jam istirahat kami akan dihabiskan dengan mengantri kamar mandi. Walaupun otakku tidak pintar-pintar amat dalam hal hitung-hitungan, tapi jelas aku lebih memilih belajar matematika daripada mendapat jadwal mata pelajaran olahraga di siang hari. Apalagi di hari pertama masuk sekolah setelah libur, plus, setelah mendapat hukuman dijemur di lapangan. Tapi tidak apa-apa, olahraga kan bikin sehat.

Pak Guntur memantul-mantulkan bola basket sambil berjalan ke hadapan murid-muridnya yang baru selesai pemanasan. Ia menyuruh laki-laki untuk menyingkir terlebih dahulu, karena hari ini ada pretest bermain basket dan perempuan mendapat giliran pertama. Kami nurut-nurut saja, dan mulai berhitung untuk membagi tim. Setelahnya, seperti biasa, sama seperti permainan apapun yang dilakukan perempuan, kami berteriak melengking satu sama lain, saat mengejar bola tanpa strategi. Maklum, ini mata pelajaran olah raga, bukan tim khusus pertandingan basket (karena tim basket perempuan sekolahku sangat profesional!).

Peluk PelikWhere stories live. Discover now