20. Kantor Kebahagiaan Dunia

52 6 0
                                    


Setelah melamun dan menatap laba-laba yang sedang membuat jaring di sudut atap, aku berkesimpulan kalau; perkataan Rahsya kemarin mungkin ada benarnya. Mungkin semua yang aku lakukan memang hanya karena aku menginginkan sesuatu dari orang-orang, yaitu pengakuan. Mungkin sebenarnya aku bukan tidak peduli tentang apa yang orang pikirkan tentang aku, tapi malah sebaliknya. Aku tidak mau tidak terlihat dan aku lebih baik dipandang aneh daripada dilupakan. Aku ingin orang-orang melihatku dan aku ingin namaku dikenal. Walaupun tidak selalu begitu, kadang aku memang ingin mengekspresikan diri dengan caraku. Namun seharusnya aku tahu kalau aku harus tahu situasi dan dengan siapa aku berhadapan.

Masih sambil berbaring di kasur, aku membuka instagram dan melihat fotoku yang baru aku unggah kemarin. Sebuah selfie bersama Volt di kebun Nenek Jasmine, dengan sebuah cerita yang baru dibawa Volt dari langit. Komentar-komentar bermunculan dan tak semuanya adalah hal baik. Aku mengalihkan layar pada laman artikel berita, yang menyorot berita utama tentang hal-hal yang terjadi di dunia. Berita selalu sukses membuatku cemas tentang banyak hal, sehingga aku seringkali menghindarinya. Berita pula, yang selalu sukses menyadarkanku bahwa dunia sudah gila dalam artian sebenar-benarnya.

Aku tak menyesal menjadi aku yang seperti dulu; aneh. Namun mungkin aku harus mencoba melihat dunia, selayaknya orang-orang pada umumnya. Mungkin dengan itu, aku bisa lebih mengerti, apa yang mereka lihat dan rasakan. Karena jika aku menapakkan kaki di daratan, aku juga merasakan betapa sulitnya untuk membangun harapan. Betapa sulitnya melihat sesuatu dari sisi terangnya.

Entah sudah berapa jam aku menatap langit-langit kamar. Semakin lama, rasanya kasurku menenggelamkanku ke dalamnya. Aku memejamkan mataku dan membiarkan diriku berpindah tempat dari dunia manusia, lalu membuka mataku kembali di dunia lain yang biasa aku datangi di saat-saat tertentu.

Kali ini, aku berada di dalam lift, menunggu lantai mana yang akan terbuka. Di dalamnya ada aku, dan dua orang yang tidak sepenuhnya manusia. Satu berkepala burung elang, satu berwajah manusia tetapi memiliku buntut tupai. Mereka menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Begini nak," ucap kepala burung kepadaku. "Kamu tahu sendiri semua orang punya masalah. Akui saja masalahmu sendiri. Tidak ada manusia yang tidak punya masalah,"

"Ya, itu benar. Orang yang sering ikut campur hanya membuang-buang waktu. Apalagi jika tak ada yang meminta bantuanmu..." timpal buntut tupai.

"Begini nak," kepala burung memulai lagi. "Niatmu baik. Hanya saja kau harus tahu kalau dunia tidak berada dibawah tanganmu. Dunia berada di bawah kakimu. Berjalanlah saja melewati labirinmu sendiri. Bantu mereka sebisanya, secukupnya, kalau mereka mau saja,"

"Ya, itu benar. Bagaimanapun juga kau bukan tuhan yang tahu segalanya, Hahaha..." timpal buntut tupai lagi.

Lift berbunyi dan pintu terbuka. Aku cepat-cepat keluar dari ruangan lift sempit yang mulai dipenuhi asap rokok kepala burung. Aku sampai di atas awan yang memiliki udara lebih segar. Tempat itu memiliki sekar-sekat ruangan penuh peri yang sedang sibuk. Salah satunya melihatku dan menghampiri.

"Kau tahu, kau masih dalam masa percobaan. Kamu masih anak magang di Kantor Kebahagiaan Dunia ini. Kamu masih mau bekerja disini?" tanya peri itu tegas.

"Aku tidak yakin," jawabku.

"Duduklah dulu," ucapnya, menyuruhku duduk di seberangnya, di sebuah bangku yang tiba-tiba muncul dari awan. "Kamu tahu, tidak ada yang salah dari menjadi diri sendiri. Tapi, ada satu hal yang kamu perlu tahu. Bahagia bukan berarti tidak pernah sedih atau marah. Dan satu lagi... Bekerja disini bukan berarti kamu harus membuat semua orang bahagia. Itu tidak mungkin..."

Lalu semuanya hilang dan menguap seperti asap. Aku kembali ke duniaku dimana manusia lain hidup. Aku mengedipkan mata beberapa kali dan bangkit dari kasur. Mungkin hari ini bisa sedikit biasa. Normal. Mungkin aku bisa mulai dari merubah pakaianku, pikirku sambil menatap cermin.

Peluk PelikWhere stories live. Discover now