28. Kita Berangkat

62 8 2
                                    

Sejak siang tadi, aku dan Bani menekan bel rumah Rahsya lebih dari tiga kali. Itu memang tidak sesuai etika bertamu, tetapi itu tidak membuatku menyerah memaksanya untuk ikut mendaki. Bulak-balik aku dan Bani menuju bel dekat pagar depan dan samping rumah istana untuk menghubungi Rahsya lewat telepon kaleng yang masih menggantung.

"Rahsyaa!" teriakku lewat kaleng.

"Nggak..." jawabnya dari kaleng seberang.

Entah di kali keberapa, satpam rumahnya membukakan pagar karena khawatir bel itu rusak karena terus ditekan dengan tak sabaran. Sebelum satpam itu sempat menceramahi, sebuah mobil muncul di belakang kami dan mengantri untuk masuk. Mobil itu mengklakson dan aku melihat seorang supir dan Kak Manda di kursi belakang.

"Ngapain disini Ra? Bawa tas besar-besar gitu?"

"Mau ke gunung Kak, sama Rahsya juga," jawabku tanpa peduli persetujuan Rahsya.

"Oh, kalau gitu masuk aja, kayaknya Rahsya ada di dalem," ajaknya, saat mobil lewat di hadapanku. Aku dan Bani melirik ke arah satpam yang ceramahnya dibatalkan sambil cengar-cengir dan berjalan masuk.

Akhirnya, tiga tas raksasa berjajar di salah satu sisi kamar Rahsya. Ini kali pertama Bani memasuki rumah istana. Aku perlu mengingatkannya untuk tidak norak dan menutup mulutnya yang menganga saat melihat isi rumah istana. Ini pun kali pertama aku masuk ke dalam kamar Rahsya. Lebih tepatnya, ruangan bersantai yang terpisah, tetapi termasuk di wilayah kamar tidurnya. Perabotannya bernuansa monokrom biru, kebanyakan menuju gelap. Ada juga rak yang dipenuhi miniatur mobil yang sudah mirip toko mainan.

"Dibilangin, aku nggak ikut,"

"Terlanjur. Ini tas bagian kamu udah siap," ucap Bani sambil mendorong salah satu tas gunung merah.

"Oke, Sya. Kita nggak bakal paksa kamu deh. Tapi coba pikirin dulu, apa bener nggak mau ikut? Rasanya kurang kalau cuman berdua,

"Oke, sekarang kita coba cek ulang. Bahan makan, udah?"

"Siap!" jawabku.

"Tenda ada di kamu, kan?" tanya Bani pada Rahsya.

"Iya."

"Jaket dan kawan-kawan masing-masing bawa, kan?"

"Siap Ban, lengkap. Lagian tuh tas emang cukup apa lagi? Kepenuhan, kalau ada yang kurang juga nggak cukup..." ucapku. Namun aku yakin semua yang dibutuhkan dan ditulis di daftar kebutuhan sudah terpenuhi.

"Satu lagi. Kalian udah siapin fisik kan? Tara, kamu lakuin apa yang aku suruh nggak? Lari minimal tiga keliling komplek seminggu kemarin? Itu syarat kamu boleh ikut," tanya Bani.

"Udah Ban... Aman..."

Sebelum terang, aku sudah mendatangi rumah Rahsya dan mengambil tas besar milikku yang sengaja ditinggal di ruangan Rahsya. Semua sudah siap kecuali Bani, yang baru aku semprot dengan penyemprot tanaman terdekat saat mengetahui ia masih belum membuka matanya saat aku sampai.

"Santai Ra, kalian selesai pake sepatu aku udah di bawah."

Sesuai dengan ucapannya, entah bagaimana caranya ia sudah siap saat kami selesai memasukkan barang ke dalam mobil yang akan mengantar kami hanya sampai terminal Cicaheum.

"Ban, kamu nggak mandi ya?"

"Mandi, pakai jurus secepat kilat. Nggak keliatan apa udah ganteng gini?"

"Dih, kutu tuh loncat, narsis," ledekku.

Bani masih sempat meneruskan tidurnya di mobil yang memakan waktu setengah jam untuk sampai di terminal. Sedangkan aku yang tak bisa mengantuk karena semangat menyantak roti panggal yang aku bekal. Rahsya hanya diam di kursi depan, sesekali menjawab pertanyaan supirnya yang tidak secerewet Supir Bus Sahabat Kami, tapi lebih banyak memamerkan senyum lebarnya.

Peluk PelikWhere stories live. Discover now