15. Temu

52 13 4
                                    

Seisi kelas penuh dengan keluhan tentang tugas yang menumpuk, beberapa saat setelah guru terakhir yang mengajar pamit keluar kelas. Mulai dari keluhan ringan hingga menyalahi sistem pendidikan negara, terdengar di sana. Kertas-kertas berserakan di lantai, karena baru saja mereka melemparkan seluruh tugasnya ke udara, yang berakhir mereka punguti kembali. Setelah dipikir-pikir, mereka masih ingin naik kelas dan terpaksa mengerjakan tugas-tugas itu. Ahmad pun menutup hari dengan berpuisi diatas meja untuk merangkum emosi dan keluhan seisi kelas.

"Oh Tugas,"

Awalan Puisi yang biasa didengar dimana-mana, termasuk taman kanak-kanak.

"Lembaranmu mengiris jatah tidur hingga tak bersisa Setiap tinta adalah air mata perjuangan ..."

Penampilan puisi dadakan itu terjeda, karena Bu Tarsih, wali kelasku, memanggilku dari luar kelas. Bu Tarsih yang melihat Ahmad berpuisi kebingungan apa harus menggelengkan kepala atau tepuk tangan. Wali kelasku yang satu ini selalu perhatian kepada murid kelasnya, dan yang paling aku suka adalah jika Bu Tarsih sudah membawa kue buatannya sendiri yang rasanya juara. Dalam satu menit pun kue itu akan habis diperebutkan murid-muridnya yang sudah mengidam-idamkannya selama tujuh bulan purnama.

"Iya Bu, ada apa?"

"Ah iya Tara, Farhan bilang kamu sama Bani tahu tempat Rahsya dirawat, ya? Ibu mau menitipkan tugasnya, khawatir terlalu banyak tertinggal. Sudah seminggu dia nggak masuk kan ya? Sebenarnya ibu mau menjenguk, tapi baru bisa lusa, lagi banyak kegiatan,"

"Oh iya, kebetulan terlewat jalur bus ke rumah Bu, nanti saya sampaikan," ucapku.

Aku belum mengunjunginya lagi sejak mengantarnya ke rumah sakit pertama kali. Rencanaku kemarin-kemarin untuk menjenguknya tertunda karena Rahsya belum bangun dari komanya. Iya, ia sempat koma, tapi menurut kabar dari Kak Manda, Rahsya sudah bangun kemarin lusa. Cederanya tidak terlalu parah walaupun ia terkapar karena kepalanya terbentur. Ada yang dijahit

sedikit, katanya. Kak Manda membuat lelucon di pesan kabar itu; "Mungkin kepalanya aman karena Rahsya anaknya keras kepala, haha."

Suasana bis kota sore itu serius, pengamen bernyanyi pelan dan tukang permen jahe pun melewatkanku dan Bani untuk menawarkan barang dagangannya. Bangku yang berjajar seakan peserta rapat mendesak relawan bencana yang telat ancang-ancang, karena Bani tak sedikitpun bergurau sore itu. Serius betul dua remaja mengobrol seperti mengurusi korupsi negara, padahal topiknya jauh dari sana.

"Ban kamu mikir hal yang sama, kan?" Kesimpulan pun diambil tanpa kata yang perlu dijabarkan, namun anggukan Bani seakan kebenaran ada di pihak kami. Ia menghembuskan nafas berat tanda ia telah berfikir hal yang berat pula.

"Oke, kita berhenti di halte depan."

Aku memberhentikan bis lebih dari tujuan utama untuk mampir ke toko di pinggir jalan dan kembali dengan kotak donat besar di tangan. Bani geleng-geleng kepala maklum, aku cangar-cengir bersemangat. Kami berjalan di trotoar menuju salah satu rumah sakit di jalan Soekarno Hatta, melewati parkirannya yang luas dan langsung menuju ruang rawat inap VIP yang sepi.

Pintu diketuk tiga kali, sebelum seorang suster yang kebetulan hendak keluar membuka pintu dari dalam. Sore itu kami datang tanpa sambutan siapapun, termasuk Rahsya yang mengerutkan dahinya antara bingung, kaget, atau risih melihat kedatangan aku dan Bani. Setidaknya, tangannya masih di gips dan tidak bisa baku hantam untuk sementara. Itu membuat Bani lebih santai karena dia tak perlu menyiapkan gaya kuda-kuda atau menangkis lawan.

"Happy birthday to you..." Aku tak ambil pusing tentang tatapan Rahsya yang seakan mengusir dan refleks memberikan sekotak donat sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun -tanpa tahu kapan sebenarnya Rahsya ulang tahun, yang jelas bukan hari itu. Bani pun menatapku dengan tatapan yang sama dengan Rahsya, dan aku agak menyesal menjadi bodoh dalam beberapa situasi seperti saat ini. Namun lalu aku melanjutkan bernyanyi "Happy birthday to you..."

Peluk PelikWhere stories live. Discover now