17. Yang Telah Hidup Lama

52 14 0
                                    


Kami menuruni bis setelah berkeliling sekitar satu jam dengan bis Pak Thor, hingga melewati jalanan yang sama dua kali, alias 'berkeliling' dalam artian sebenarnya. Kami turun di pinggir jalan raya, dan memasuki jalan kecil menuju kawasan perumahan. Kursi roda Rahsya masih didorong Bani, dan kadang bergantian denganku. Sebenarnya enak jadi Rahsya yang hanya duduk saja, tetapi sepertinya Rahsya, sebagai 'Rahsya' merasa sangat tidak nyaman saat merasa membutuhkan orang lain seperti kali ini.

"Ini gua mau dibawa kemana sih?" tanya Rahsya, keseratus kalinya. Ya, hari ini jumlah kalimat yang keluar dari mulutnya di atas rata-rata.

"Kita mau minum es kelapa dulu, terus ke rumah narasumber aku," jawabku.

"Di?"

"Bentar lagi nyampe,"

"Tenang bro, ikutin aja si Tara ini. Mau ditanya atau dilarang atau sejenisnya juga dia nggak mempan," ucap Bani, sebagai langganan korban dari rencanaku yang macam-macam. Aku sebenarnya tidak selalu memaksa, tapi Bani saja yang sukarela dan pasrah.

Kami sampai di dekat rel kereta yang palangnya hendak ditutup. Dengan setengah berlari, aku mendorong kursi roda Rahsya agar tak terlambat melihat kereta yang lewat. Aku melambai-lambai kepada kereta yang lewat itu, karena aku yakin ada penumpang anak-anak kecil yang senang melihat ke jendela. Setelah kereta hilang dari pandangan, kami melanjutkan perjalanan menyusuri pinggir rel kereta, hingga menemukan sebuah warung kecil. Kelapa bertumpuk di sebuah keranjang gerobak besar, dan dipinggirnya terdapat meja dengan gelas-gelas.

"Sampee! Dulu, aku sama sahabat aku, Salma, suka kesini juga. Kita minum air kelapa seger sambil liatin kereta lewat,"

"Tapi sahabatnya udah lupain kamu ya? kasian," ledek Bani.

"Nggak ah, aku masih sering ketemu Salma. Lagian, yang jarang ketemu juga bukan berarti saling lupa. Orang-orang yang bikin putus silaturahmi tuh orang yang mikirnya gitu tuh, gengsi nyapa duluan, karena ngerasa dilupain. Padahal bisa aja kan saling kangen,"

"Kok jadi kesitu?"

"Sambung-sambungin aja, –Bu, kelapanya tiga ya," pesanku pada ibu Sari, penjual kelapa.

"Siap Neng Tara. Ini temennya baru kesini ya? Kasep kieu,"

"Sedih banget aku pertama kesini nggak dibilang ganteng," bisik Bani.

"Kasep, Aa Bani oge atuh. Ieumah beda kasepna," celoteh Ibu Sari yang mendengar bisikan Bani. Bani jadi salah tingkah.

"Ini Rahsya Bu, anak baru di sekolah." Aku mewakilkan Rahsya untuk memperkenalkan diri.

Rahsya hanya mengangguk dan tersenyum.

Tidak lama kemudian, tiga air kelapa muda murni disuguhkan dengan batoknya. Sangat cocok untuk udara panas seperti siang ini. Dari jalan raya yang tidak jauh dari warung tempat kami berada, terdengar bunyi palang kereta ditutup. Sesaat setelah itu, kereta muncul dari arah barat, meniup angin ke arah kami yang sedang menikmati air kelapa.

"Kenapa harus di pinggir jalan kereta?"

"Karena..."

"Aku juga pertama kali kesini nanya gitu. Karena, Tara suka kereta. Jawabannya cuman gitu."

"Aku bukan suka keretanya, cuman aku suka perjalanan. Liat orang dateng dan pergi. Aku suka kereta, pesawat, kapal laut. Perjalanan mereka jauh, soalnya. Mereka pasti punya banyak cerita. Bis juga jauh sih kadang, cuman mereka kentutnya banyak dan bau, polusi. Liatin orang-orang di jendela kereta tuh, ada yang tidur, ada yang ngelamun, ada yang ngobrol, ketawa, macem-macem. Tuh, suka ada anak-anak dadah-dadah juga," tunjukku saat kereta melintas dengan cepat.

Peluk PelikWhere stories live. Discover now