Chapter Nineteen - Starts

331 40 6
                                    

Pukul 8 malam, Sarah sudah tertidur pulas. Mengetahui itu, Sean pamit pulang. Keluarga itu menahannya, berkata dia bisa tidur di kamar tamu lagi. Namun, Sean tetap ingin pulang.

"Yaudah, gue antar," kata Gilang, melompat dari tempat duduk dan segera menuju kamar.

"Enggak perlu, Lang, gue pulang sendiri aja!" sahut Sean setengah berteriak, tetapi Gilang tidak mengindahkannya.

"Enggak apa, Sean, biar Gilang antar." Ginan bicara sambil memperhatikan wajah Sean.

"Tapi rumah saya jauh, Om."

"Seenggaknya gue pakai motor." Tiba-tiba Gilang sudah muncul kembali ke ruang tengah, sambil mengenakan jaket birunya. "Ayo!"

Terpaksa Sean menurutinya, karena Rani dan Ginan juga memaksanya. Jadilah kedua remaja itu berkendara di antara malam, menyusup dalam kerumunan kendaraan lain. Sempat sama-sama berdiam diri, sampai Gilang merasa tidak sanggup menahan pertanyaan yang menggantungi pikirannya.

"Sean, maksud lo Sam dewasa lebih cepat tadi ... dia naksir sama kembaran lo, gitu?"

"Iya!" jawab Sean agak keras, mengimbangi bising jalanan di sekitar mereka.

"Terus, apa lo pikir sekarang dia naksir Sarah? Gue lihat ... dia kayak perhatian banget sama adek gue," tanya Gilang lagi, mengungkapkan apa yang ada di hati.

"Gue pikir iya," sahut Sean, menarik dan membuang napas gusar. "Gue serius soal Sam, Gilang, kalian beneran harus menjauhkan dia dari Sarah."

Gilang mencengkeram stang sebelah kiri, entah bagaimana, perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak. Ada khawatir menelusup, mengingat saat ini dia jauh dari Sarah.

"Sejauh apa dia bisa bertindak?"

"Awas, Lang!" Teriakan Sean menggema, sesaat sebelum sebuah mobil menghantam motor yang mereka kendarai dari depan. Suara tabrakan terdengar nyaring, menyisakan kepingan-kepingan yang sulit untuk dirangkai kembali. Darah berceceran di sekitar jalanan, ketakutan mulai menguar dari para pelalu-lalang.

-SR-

Ginan baru saja hendak mematikan telepon pintarnya, saat benda itu menyala, menampilkan nomor Gilang di layarnya. Tanpa beban, laki-laki tinggi itu mengangkat telepon dari anaknya. Namun, wajahnya mulai pias saat terdengar suara wanita dari ujung telepon sana.

"Halo, Pak? Ini papanya Gilang Hermansyah? Pak ... anak Bapak kecelakaan di jalan."

"Anak saya kenapa? Kecelakaan di mana?" Ginan langsung panik, menyambar laci untuk mengambil dompet dan kunci mobil, laku berhenti di hadapan istrinya. Dia mendengarkan baik-baik ucapan wanita asing itu, yang mengatakan Gilang dan temannya akan segera dibawa ke rumah sakit terdekat.

"Kondisinya sangat parah, Pak. Sebaiknya Bapak bawa keluarga yang golongan darahnya cocok. Kepalanya pecah!"

Setelah menutup telepon, Ginan mengatakan pada Rani, apa yang barusan ia dengar.

"Ayo kita ke rumah sakit sekarang, Ma. Darah Mama yang cocok sama Gilang," kata Ginan, menggenggam tangan istrinya.

"Tapi Sarah gimana, Pa?"

Ginan bimbang sesaat, lalu menyuruh istrinya membangunkan Sarah. Namun, ketika melihat tidur Sarah sangat nyenyak, mereka tidak membangunkannya. Ginan meletakkan ponsel di dekat Sarah tidur, juga kunci cadangan. Semua jendela diperiksa, sudah terkunci rapat. Mereka lalu mengunci pintu kamar Sarah dari luar, begitu pun pintu rumah dan gerbang. Bergegas menuju rumah sakit, berharap tak ada hal buruk yang menimpa putra kebanggaannya.

SarahWhere stories live. Discover now