Chapter Two - Two Sides

666 67 21
                                    

"Jika cintamu mustahil kudapatkan, izinkan aku menyimpan ragamu dalam keabadian."

—SR—

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

—SR—

Sepasang mata menatap hangat tubuh dingin seseorang yang sedang terbaring di hadapannya. Iris serupa aurora itu begitu indah dan memesona, hingga membuat siapa pun tak mampu berpaling dari pesonanya. Apa lagi ditambah senyum tipis yang begitu menawan di bibir merah seorang pria berdarah Indonesia-Inggris itu. Namun, sayang, dia sudah tidak mampu menghipnotis tubuh kaku di hadapannya saat ini. Karena tubuh itu, telah kehilangan jiwanya.


"Kamu cantik," bisiknya dengan suara serak. "Like always."

Gelas tinggi berisi cairan merah yang sejak tadi digenggam, ia letakkan di meja samping tempat tubuh kaku itu terbaring. Pelan, jemarinya menyentuh rahang bersudut oval itu, lalu mulai menyusuri tubuh polos tanpa sehelai kain. Gairah mulai membuncah di dalam diri.

"Kenapa kamu diam?" lirihnya lagi. "Dulu, kamu selalu berontak kalau kusentuh. Kenapa sekarang diam?"

Laki-laki itu tersenyum penuh, matanya sampai menyipit.

"Oh, pasti karena ... kamu sudah mati."

—SR—

"Abang! Anterin Sarah ke kelas pokoknya, Sarah takut. Masuk kelas unggulan udah kayak masuk kuburan," rengek gadis manis itu sambil menggoyang tangan kakaknya.

Sang kakak hanya melirik malas, menggeleng.

"Abang, ih! Jangan-jangan Abang berubah jadi zombi juga, ya, kalau di kelas unggulan?"

Merasa diabaikan, Sarah terus merengek sambil menarik tangan kakaknya.

"Bang ... Sarah nggak punya teman di kelas, takut, ih!"

Lelaki itu berdecak, menarik ujung kerudung adiknya.

"Anak kelas unggulan memang begitu, Dek, nggak ada yang berteman. Mereka itu antisosial, tahunya cuma saingan buat jadi juara," jawab Gilang.

"Tapi Abang sama Kak Fani punya teman. Nggak ansos, dong!" sanggah Sarah dengan wajah cemberut.

"Ada yang dari sekolah ini nggak?" Gilang memicing, adiknya menggeleng.

"Itu teman dari SD sama SMP. Kalau dari kelas unggulan sekolah ini mana ada, Dek. Semua musuh di sini."

Sarah bergidik, menatap ngeri kakaknya yang mengatakan hal itu dengan enteng. Apa seseram itu persaingan di kelas unggulan?

"Kesel Sarah tuh! Kalau tahu begini, nggak mau Sarah dipindah ke kelas unggulan!" gerutunya, menghentak-hentakkan kaki.

"Dek, nanti malam ajak Mama-Papa nonton, yuk? Ada film Aladdin."

SarahWhere stories live. Discover now