Chapter Seven - Nightmare

443 47 5
                                    

—SR—

Belum jauh langkah kaki Gilang meninggalkan kelas Sarah, suara pekikan nyaring seorang gadis membuatnya berbelok. Segera berlari memasuki kelas Sarah, dan melihat adiknya menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Bahunya turun naik, bahkan sekujur tubuhnya tampak bergetar.

"Dek ...," panggil Gilang, meraih pergelangan tangan Sarah. Gadis itu segera menghambur ke pelukan kakaknya, menangis sejadi-jadinya. Gilang mengusap kepalanya lembut, sambil memperhatikan sekitar. Seketika matanya menangkap sebuah ponsel yang tergeletak di meja Sarah. Sebuah rekaman kebakaran terlihat sedang berputar tanpa suara.

Gilang mengambil benda itu dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain masih mendekap Sarah. Dibantingnya sekeras mungkin ke lantai, hingga hancur berantakan. Tak peduli siapa pemiliknya, atau apa tujuannya, yang jelas sekarang dia harus menenangkan Sarah yang bertambah histeris.

Tak sengaja, mata Gilang melihat sebuah gantungan kunci berbentuk huruf S tergeletak di bawah meja, dekat dengan salah satu serpihan ponsel itu. Gilang menggerakkan kaki, mencoba mendekatkan benda itu. Seseorang memungutnya, lalu mengangkat ke depan wajah. Seketika, dia menoleh pada seseorang yang sedang berdiri tak jauh dari mereka.

Gilang merebut benda itu, langsung membaca nama Sean di bagian belakangnya. Matanya pun mengarah pada Sean yang diam memperhatikan Sarah. Tatapan yang selalu ia lihat di mata lelaki itu setiap melihat adiknya kembali muncul. Dan lagi-lagi, Gilang tidak paham, apa yang membuat Sean begitu membenci Sarah.

"Sarah, sudah, ya." Suara Sam terdengar. Dia mendekat, mencoba menarik tangan Sarah yang melingkar di pinggang Gilang.

"Sudah, nggak apa-apa. Itu cuma kerjaan orang iseng," tambahnya.

"Sarah mau pulang, Abang. Pulang!" pekik Sarah.

"Iya, sebentar lagi, ya," bujuk Gilang pelan. "Ayo, temani Abang ke kantin dulu. Biasanya kalau pagi begini, bala-balanya baru digoreng, lo."

"Enggak mau! Sarah mau pulang, Abang. Sarah mau Mama."

Tumben, bisik Gilang dalam hati. Biasanya, Sarah akan mudah sekali dibujuk dengan jajanan, tetapi kali ini ia menolak keras. Mungkin apa yang dilihatnya tadi benar-benar mengganggu.

"Iya, tapi Adek tungguin abang dulu, ya? Abang ke toilet sebentar," kata Gilang lagi, masih berusaha mengalihkan pikiran Sarah. Namun, lagi-lagi gadis itu menolak. Dia hanya ingin segera pulang ke rumah dan bertemu ibunya.

Akhirnya Gilang mengalah. Dengan tatapan tajam yang terarah pada Sean, dia mengajak Sarah meninggalkan kelas itu. Pergi menemui guru piket, lalu meminta izin untuk mengantar adiknya sebentar. Sepanjang perjalanan, Sarah tidak melepas pelukannya di pinggang Gilang. Laki-laki itu bisa merasakan, di belakangnya, adiknya masih menangis sesegukan. Bahkan ketika sampai di rumah, Sarah meraung dalam pelukan ibunya. Melihat itu, Gilang tidak tega meninggalkannya, jadi memilih bolos sekolah untuk menemani ibunya menjaga Sarah. Lagi-lagi, gadis itu mengurung diri di kamar yang gelap.

"Kenapa Sarah bisa begini, Lang?" Rani bertanya setelah memastikan Sarah tertidur. Sudah sejak tadi dia penasaran, tetapi menahannya karena takut Sarah bertambah histeris bila diingatkan hal yang membuatnya takut.

Gilang berkata, "Tadi di mejanya ada hp yang lagi muterin video kebakaran, Ma. Aku nggak tahu siapa yang naruh itu di meja Sarah."

SarahWhere stories live. Discover now