Chapter Four - Fire and I

508 62 4
                                    

"Jangan pernah mengatakan seseorang pincang, kecuali jika kau pernah berdiri di kakinya, dan merasakan bagaimana ia menapaki jalan."

—SR—

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

—SR—

Masih pukul 3 dini hari, terlalu pagi untuk bangun. Namun, rasa takut membuat Sarah tidak ingin terlelap. Dia yakin, jika terpejam sebentar saja, maka mimpi itu akan kembali datang. Jadi, gadis bertinggi badan 160 sentimeter itu memilih membersihkan rumah pagi-pagi buta begini, mencegah rasa kantuk menguasai. Sambil bernyanyi tidak jelas, dia berjanji akan membuat lantai rumah kinclong sebelum orang tuanya bangun. Semua ini juga termasuk dalam misi penambahan uang jajan.

Ya, Sarah memang sangat suka jajan. Setiap kali merajuk, abangnya yang cerdas pasti akan membawanya ke tukang gorengan. Cukup dibelikan bala-bala seharga lima ribu saja, sudah lupa pada kekesalannya.

Sarah berhenti tepat di pintu dapur. Dalam cahaya remang, gadis itu bisa melihat kompor dalam keadaan mati. Namun, apa yang ada di bayangannya adalah api yang dapat dihasilkan oleh kompor itu. Tubuhnya langsung bergidik, takut kian merayap. Sejak dahulu, dia memang anti memasuki dapur.

Gadis itu memutar tubuh, tiba-tiba teringat dengan mimpi yang selalu saja menghantui malamnya. Tentang sebuah kebakaran, jerit tangis banyak orang, juga perasaan yang tak mampu ia jelaskan. Jika bisa, dia ingin melakukan apa pun agar mimpi itu tak lagi singgah. Namun, dia sadar tak bisa mengendalikan sebuah mimpi.

Paginya, di meja makan orang tuanya kaget menemukan wajah Sarah pucat.  Ibunya bertanya apa yang terjadi, Sarah balik bertanya, kenapa dia selalu memimpikan sebuah kebakaran.

"Apa dulu rumah kita pernah kebakaran?" tanya gadis itu, memainkan sendok di tangannya.

Orang tua dan kakaknya tampak saling pandang, sebelum menggeleng bersamaan.

"Terus kenapa Sarah selalu mimpi itu setiap malam? Kenapa Sarah ngerasa, semua keluarga Sarah hilang waktu kebakaran itu? Terus ... siapa itu Kak Tania? Apa Sarah punya Kakak perempuan lain?"

Lagi, ibu dan ayahnya saling pandang. Ibunya menjawab, "Kamu cuma punya satu kakak perempuan, dan namanya bukan Tania." Sambil menggenggam tangan Sarah.

"Sudah, mungkin Sarah cuma lupa berdoa. Jangan dipikirin lagi, ya?" lanjut ibunya lembut.

"Tapi, Ma, Sarah inget kok. Semalam Sarah baca ayat kursi sampai tiga kali. Kok masih mimpi buruk?"

"Malam ini, kudu khatam tiga puluh juz, Dek, baru tidur," timpal Gilang, mulai menyuap nasi gorengnya.

"Ih, Abang! Kalau tiga puluh juz mah, nggak cukup semaleman. Kapan tidurnya?" protes Sarah.

"Sudah, jangan berantem," lerai ayahnya. "Mending kamu makan deh, nasi gorengnya. Nanti dicolong abangmu."

Sarah melotot kepada Gilang, langsung menarik piring dan menyuap isinya. Sesekali dia melirik waspada, takut bila Gilang mengambil nasinya. Sementara ayah dan ibunya hanya bisa saling pandang, sambil sesekali menghela napas letih. Mengasihani nasib anak bungsunya. Sempat terpikir untuk mengatakan yang sejujurnya, tentang siapa dirinya dan apa arti mimpi yang mengganggu selama ini. Namun, mereka takut, kondisi otak Sarah tak memungkinkan untuk menerima kenyataan itu.

SarahOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz