Chapter Six - He is White

471 52 6
                                    

—SR—

Gadis itu tampak lelah. Ya, dia lelah dengan semua mimpi buruk yang selalu hadir ketika mata mulai terpejam. Dia lelah mendengar jawaban yang tak memuaskan dari keluarganya. Dan ... dia lelah menjadi dirinya yang terlalu mudah terkecoh oleh sesuatu.

Sepekan ini, Gilang akan mengikuti berbagai pelatihan dan simulasi gabungan dengan sekolah unggulan lain. Jadi, Sarah harus menerima kenyataan bahwa dirinya akan sendirian selama di sekolah. Namun, tak seperti biasa, kali ini dia ikhlas menerima. Merasa membutuhkan ruang untuk sendiri dan menenangkan pikiran.

Jam istirahat ini, Sarah memilih duduk di taman belakang sekolah. Tempat ini tidak bisa dibilang sepi, beberapa siswa-siswi terlihat di sana. Sedang memakan bekal, membaca, ada juga yang bercanda dengan temannya. Hanya Sarah yang duduk seorang diri di bawah pohon besar, tak melakukan apa pun selain mengamati mereka.

Lagi-lagi, ia merasa asing pada dunia. Entah kenapa, dia merasa ini bukanlah tempatnya. Mungkin, karena tak ada seorang pun yang bisa menerimanya. Dia seperti alien dari planet tetangga, yang tidak diinginkan kehadirannya.

Gemuruh menggelegar, langit menggelap, dan seketika rintik hujan mengantam tanah. Guyuran air yang begitu deras membuat Sarah panik. Dia berada di bawah pohon yang paling jauh dari teras. Kalau nekat menyeberang taman yang cukup luas ini, maka pasti dia akan basah kuyup. Sarah mendadak takut jatuh sakit.

Jadi, dia berdiri di bawah pohon. Bukan pilihan terbaik, karena petir dan gemuruh silih berganti menunjukkan eksistensinya. Sarah memeluk tubuh sendiri, rasa dingin mulai menyergap. Dia merapatkan tubuh di  batang pohon, menggumam doa apa pun yang ia bisa.

Hujan semakin deras, angin pun bertiup kencang. Di bawah pohon itu, Sarah mulai kebahasan. Dia mulai berpikir untuk berlari menerobos hujan, ketika samar bayang seseorang berlari padanya terlihat. Laki-laki itu kini berdiri di hadapannya dengan tubuh basah kuyup.

"Lo ngapain di sini? Hujan deras dan banyak petir, nanti lo tersambar!" kata Sam, setengah berteriak bertarung hujan.

"Tadi Sarah cuma duduk, terus hujan," sahut gadis itu agak keras. "Sarah takut mau nyeberang taman."

Langit kembali bergemuruh, Sarah refleks menutup kedua telinga dengan telapak tangan. Sam mendongak, melihat kilat cahaya seperti pertunjukan di langit.

"Yaudah, ayo, kita balik ke kelas. Nyeberangnya bareng gue, nggak usah takut."

Berdiri di bawah pohon pun sama basahnya, pikir Sarah. Jadi, dia menuruti Sam. Laki-laki itu merangkul bahunya, sebelah tangan lagi diletakkan di kepala Sarah. Tak berarti memang, karena kenyataannya, Sarah tetap basah kuyup ketika sampai di teras sekolah. Namun, ada hangat yang diam-diam merasuk. Tiba-tiba, Sarah merasa ada seseorang yang bersedia menerimanya.

Gadis itu menoleh, melihat Sam bergidik di sebelahnya. Cuaca memang sangat dingin.

"Kita ke kantin aja dulu, beli teh hangat. Nanti baru masuk kelas," ajak Sam.

"Eh? Bukannya sekarang sudah masuk, ya? Memang anak kelas unggulan boleh bolos?"

"Darurat," balas Sam, berjalan mendahului Sarah menuju kantin. Gadis itu membuntuti, lalu duduk di seberang Sam. Mereka berdua menggigil, sebelum Sarah bersin berkali-kali.

"Nih, minum." Sam memyodorkan teh manis hangat yang baru saja diantarkan pedagang.

Sarah mengambil gelas itu dengan tangan bergetar, mulai meneguk isinya. Bersyukur karena bisa mendapat kehangatan dari segelas teh itu.

"Lo ngapain duduk di bawah pohon itu? Sudah tahu jaraknya jauh dari teras, apalagi kelas kita," ucap Sam, lalu meneguk tehnya.

Sarah menggeleng. "Enggak, cuma duduk. Abang nggak ada, Sarah malas ke kantin sendirian."

SarahOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz