Chapter Eighteen - The Past

338 45 7
                                    

"Aku hanya terlalu kecewa pada dunia. Tidak lebih."

-SR-

"Kamu."

Air mata Sarah surut, berganti isakan kecil.

"Kok mau ngelupain Sarah?" tanyanya tergugu. Melihat Sean dengan mata sayu, berharap lelaki itu hanya bercanda.

"Karena kamu ... mengingatkan aku sama orang-orang yang paling aku sayang, sekaligus yang paling aku benci."

Tidak hanya Sarah, Gilang dan Rani pun dibuat melongo, tidak mengerti akan ucapan Sean. Bagaimana bisa, menyayangi dan membenci seseorang dalam waktu bersamaan? Terdengar sangat mustahil.

"Ke-kenapa?" Sarah bertarung melawan isakan, sampai membuatnya tergagap. Namun, dia sungguh ingin tahu, siapa yang dimaksud oleh Sean. Apa ini alasan Sean selalu menatapnya tak suka?

"Kamu mau tahu?" Sarah mengangguk menjawab remaja lelaki itu. "Ayo, bangun. Aku ceritain semuanya. Tapi ... di kursi, ya? Aku pegel jongkok begini."

Tanpa protes, Sarah melompat bangkit. Buru-buru berjalan ke sofa, lalu menghempaskan tubuh. Gilang mengembus napas lega, begitu pun Rani. Akhirnya perhatian Sarah teralihkan. Rani menatap Sean, mengulas senyum yang dibalas Sean dengan anggukan. Kemudian wanita itu menghilang ke dapur, menyiapkan camilan untuk mereka.

"Abang, tolong ambilin Sarah minum dong. Haus ...," rengek gadis itu sambil memegangi tenggorokan, bertingkah seolah tidak minum selama seabad. Gilang berdecak, menepuk kepalanya sekali, lalu mengeluyur ke dapur. Meninggalkan Sarah yang sedang duduk bersila di sofa abu-abu, dan Sean di seberangnya.

"Ambil sendiri, Sarah. Gilang lebih tua dari kamu, nggak sopan kamu merintah dia." Sean bicara sambil menatap Sarah yang sedang membersihkan hidungnya.

"Sarah minta tolong, Sean, bukannya merintah. Sarah takut masuk dapur." Sarah membela diri.

"Bilang aja malas, Non," cibir Sean. Dia tahu betul, tempat dispenser ada di ruang makan, bukan dapur.

Gilang datang dengan satu jug air putih, empat gelas, dan tiga kaleng minuman dingin. Dia melempar sekaleng pada Sean, yang menangkapnya gesit, lalu menuang segelas air untuk adiknya yang pemalas itu. Setelah rasa haus terobati, Sarah kembali bertanya pada Sean, siapa orang yang tadi dia maksud.

"Oh ...." Sean mengangkat pandangan ke langit-langit, menghela napas sedalam mungkin. Dia tidak tahu, apakah sanggup membuka luka lama itu pada orang baru. Namun, sepertinya Sarah memang harus tahu tentang semuanya.

"Siena dan Siera." Laki-laki berwajah tirus itu menelan saliva dengan susah payah, lalu menenggak minumannya lagi, sebelum tatapannya kembali pada Sarah.

"Kembaranku."

Mata Sarah membulat, begitu juga Gilang. Antara percaya dan tidak, Sean yang sangat tertutup itu, kini bisa membuka diri pada mereka.

"Dulu, kami keluarga yang sangat-sangat bahagia. Siena dan Siera seperti tuan putri di rumah, dan aku satu-satunya pangeran di sana. Siena dan Siera selalu menjadi kesayangan, sementara aku selalu menjadi kebanggaan. Siena dan Siera tidak boleh menangis, sementara aku tidak boleh mengeluh. Semua keinginan kami selalu dicukupi, apa pun itu. Hingga akhirnya, Siena dan Siera menjadi manja, sementara aku menjadi egois."

SarahWhere stories live. Discover now