Chapter Thirteen - Black vs White

380 43 2
                                    

Siang ini, Sarah baru saja akan keluar untuk makan, saat suara keributan terdengar. Takut yang datang adalah keluarga Sam, dirinya menunggu di balik pintu kamar sambil menempelkan telinga. Suara itu dikenalinya, suara dingin milik Sean. Dia meneriakkan nama Sarah berulang kali. Hampir saja ia membuka pintu, tetapi berhenti ketika mendengar suara teriakan Sam.

—SR—

"Dia nggak ada di sini, Sean!" teriak Sam, memegang erat bahu Sean.

"Biarin gue yang pastikan, kalau Sarah nggak di sini," desis laki-laki yang hari ini mengenakan jaket hitam itu.

"Lo nggak berhak masuk ke apartemen gue tanpa izin!"

Sean berhenti, menepis keras tangan Sam, lalu mendorongnya.

"Apa perlu gue panggil polisi, buat geledah apartemen lo sekarang juga?" ancam Sean.

Sam berdecih, menarik keras kerah kemeja Sean. "Panggil siapa pun yang mau lo panggil, Sean! Lo pikir, masih ada orang yang akan dengerin omongan pembunuh kayak lo?"

Satu pukulan keras mendarat di wajah Sam, hingga ia terhuyung ke lantai. Tangan Sean masih mengepal keras, saat dia berkata, "Lo mungkin buat semua orang percaya, kalau gue yang sudah membunuh Sienna dan Sierra. Tapi kenyataannya, tetap aja lo pembunuh mereka!"

"Apa lo mau menambah daftar dosa, Sean," cibir Sam, mengambil posisi berdiri sambil menyeka sudut bibir yang berdarah.

"Apa sekarang lo mau menjadi pembunuh dan tukang fitnah?"

"Berengsek!" pekik Sean, melayangkan pukulan lain. Kali ini Sam membalas, tak kalah keras dari yang ia dapatkan. Kedua sepupu itu terus berkelahi, saling pukul bahkan tendang. Seolah bersiap saling menghabisi satu sama lain. Untungnya, keadaan pintu apartemen Sam yang tidak ia tutup tadi, membuat seorang tetangga yang akan lewat melihat mereka. Laki-laki berusia sekitar empat puluhan itu segera melerai mereka, lalu menarik Sean yang sedang sibuk menghujani Sam dengan pukulan.

"Sarah! Kalau lo ada di sini, cepat pergi, sebelum lo habis di tangan Sam!" Sean berteriak sebelum tetangga Sam berhasil mengeluarkannya dari apartemen. Menyisakan Sam yang berdecih, meludahkan darah yang cukup banyak.

"Sialan," desisnya, "kenapa gue selalu kalah dari lo, Sean? Andai aja dulu gue nggak kalah, Sienna dan Sierra pasti nggak akan mati."

—SR—

Senyap. Hanya itu yang dapat didengar Sarah saat ini. Perlahan, ia memutar kenop pintu. Berjalan mengendap ke ruang tengah, memperhatikan Sam yang sedang duduk di sofa hitam-putih. Wajah laki-laki itu dipenuhi memar, napasnya bahkan masih terengah.

Sarah melihat Sam mencoba mengobati diri sendiri, mengompres lukanya dengan es, lalu meminum beberapa obat. Mereka tak bicara apa pun sampai malam tiba. Lalu setelah makan malam, Sarah mengatakan keinginannya untuk pulang, yang langsung ditolak Sam.

"Pulang ke mana, Sarah?" tanya Sam dengan nada remeh. "Lo pikir ... lo punya rumah? Ingat baik-baik ini, Sarah. Mereka bukan keluarga lo, dan rumah itu bukan rumah lo. Jadi, lo nggak bisa menyebut tempat itu sebagai tujuan pulang."

Sarah menunduk, menangis. "Tapi, Sarah kangen Mama."

"Tapi, mereka bahkan nggak inget sama lo, Sarah," balas Sam cepat. "Tadinya, gue nggak mau cerita. Tapi mungkin ada baiknya, kalau lo tahu ini." Sam mencondongkan tubuh agar lebih dekat dengan gadis itu.

"Tadi gue nemuin Gilang, untuk nyuruh dia jemput lo. Dan lo tahu, dia langsung ninggalin gue, tanpa bereaksi apa-apa. Apa itu, yang lo sebut keluarga, Sarah?"

Sarah mendongak, melihat keseriusan di wajah Sam. Benarkah Gilang tidak menghiraukan Sam, saat menyuruhnya menjemput Sarah? Apakah secepat itu mereka melupakannya? Atau mungkin ... mereka memang telah menunggu saat ini? Saat di mana Sarah pergi, agar mereka tidak perlu mengusirnya.

"Jangan pikirin tentang pulang, Sarah. Rumah lo di sini." Sam bangkit, lantas menepuk kepala Sarah sekali. Dia meninggalkan Sarah termenung di meja makan, kembali memikirkan ucapan Sam tadi.

—SR—

Sarah tidak percaya pada Sam, hanya itu yang ada di pikirannya saat ini. Jadi, dia mengemasi barang, lalu menunggu waktu yang tepat. Ketika jam menunjukkan pukul 12 malam, dia membuka kenop pintu perlahan, mengecek keadaan sekitar. Seluruh lampu sudah dimatikan, dan dia berharap semoga Sam sudah tidur lelap.

Sampai di ruang tengah, Sarah pikir semuanya aman. Namun, saat dia mencoba membuka pintu apartemen, sebuah suara mengagetkannya.

"Mau ke mana?"

Sarah terlonjak. Tangannya masih memegang kenop, tetapi tubuhnya refleks berbalik. Dibantu cahaya minim dari lampu kecil di dinding, dia bisa melihat siluet seorang laki-laki berjalan mendekat. Gadis itu gemetar, bingung harus menjawab apa. Namun, instingnya mengambil alih. Tangan yang masih melekat di kenop segera memutarnya, lantas ia berlari sekencang mungkin meninggalkan tempat itu.

"Sarah!" Pekikan Sam membelah malam, memecah kesunyian di lorong apartemen. Namun, tak sedikit pun membuat Sarah menoleh. Gadis itu segera berlari, melawan ketakutan yang kian menjadi saat dia berada seorang diri di lift. Terduduk lemas di pojok lift, sambil memeluk kedua kakinya.

Saat pintu lift terbuka, mata Sarah terbeliak. Seseorang telah menunggunya, tepat di depan pintu lift.

—SR—

TBC

Kavii98_
Fifi_Alifya
azdiyare_ahsan708
rodeoexol
IndahCatYa
AnnyoosAn
Talithaa56
MeylindaRatna

SarahWhere stories live. Discover now