"Dari mana?"

Fredella terkejut. Tubuh besar itu sudah ada di depannya. "Da—"

"Tidak bisa ya, mau pergi memberi kabar dulu agar tidak khawatir." Axel menyela.

Nada bicara Axel datar, dalam kondisi marah. Fredella memahami karena salah sendiri tidak memberi kabar pada Axel.

"Maaf. Masuk dulu. Nanti saya jelaskan." Fredella membuka pintu apartemennya.

"Saya khawatir Fredella. Takut ada hal buruk terjadi padamu. Delapan belas kali telepon tidak diangkat, chat tidak digubris. Saya ke restoran kata mereka dari siang kamu pergi." Bagaimana tidak khawatir ketika keberadaan kekasihnya sulit ditemui, bahkan saat sedang rapat tidak fokus karena Fredella mengabaikan pesan dan telepon. Tangan tak henti membuka ponsel sedangkan telinga fokus mendengar presentasi dari karyawan.

"Iya. Masuk dulu deh." Fredella menarik Axel masuk ke dalam apartemen.

"Jawab Fredella!"

Fredella mengembuskan napasnya, tidak sabaran sekali. "Iya, copot sepatu dulu."

Axel sudah duduk dan Fredella segera mendekat setelah berhasil melepaskan sepatu. "Hari ini benar-benar sibuk, ponsel tidak dibuka sama sekali. Merekap kebutuhan restoran, gaji karyawan besok dan ke bank sampai sore ini baru pulang," jelas Fredella.

"Memangnya tidak bisa membuka pesan dan mengatakan baik-baik saja agar saya tidak khawatir?"

Tiba-tiba Fredella memeluk Axel. Padahal Axel membutuhkan jawaban, kalau sudah dipeluk seperti kekesalan Axel jadi hilang. Fredella memang paling tahu kelemahan Axel.

"Sibuk, Mas, maaf. Lagian sekarang kita sudah bertemu dan keadaanku baik-baik saja. Jangan marah terus, janji deh nggak membuat Mas khawatir lagi." Fredella mengetuk-ngetuk dada Axel di sela-sela pelukannya.

Axel tidak kuat, bohong kalau tidak luluh apalagi mendapat pelukan gratis dari Fredella. "Jangan ulangi."

Fredella mengangguk.

"Fredella, aku ingin menciummu," bisik Axel. Membuat bulu kuduk Fredella berdiri, bisikan Axel mampu memberikan sengatan membuat Fredella tidak bisa berkutik.

"Boleh?"

Fredella terdiam.

"Diam berarti iya, setelah ini jangan marah. Kamu tidak mencegah, Fredella."

Tangan mulai bergerak pada bibir lembut Fredella, wanita di depannya selalu terpesona dengan Axel. Axel semakin mendekati Fredella, mengusap bibir merah milik Fredella. Beberapa centi lagi bibir itu saling bertemu. Tidak ada lagi Arkana, bayangan Arkana juga hilang. Axel kali ini merasa menang.
Bebas.

"Brengsek!" maki Axel. Bibir mereka belum bertemu tiba-tiba satu barang mengenai tubuhnya.

"Duda mesum, duda! Lepasin adik saya, woy! Jangan ciuman kalian."

Suara teriakan begitu jelas terdengar keduanya.
Axel melempar kembali bantal tepat mengenai Anggara di sana, teman sekaligus sahabatnya ini benar-benar tidak sopan masuk ke rumah orang lalu melempar bantal ini ke arah Axel.

"Tidak sopan. Bisa menunggu di luar," kata Axel dengan penuh percaya diri sedangkan Fredella sudah memeluk Axel— meminta perlindungan Axel dari Anggara— Kakaknya.

Tamat sudah riwayat Fredella.

"Menunggu di luar lalu kamu berbuat mesum."

"Mesum atau tidak itu hak saya. Kamu sudah masuk ranah pribadi, Anggara. Ini benar-benar tidak sopan." Axel ingin sekali bangkit tetapi Fredella terus memeluknya terlihat sekali ketakutan.

Anggara mendekati keduanya, mimpi apa semalam bisa- bisanya Fredella dan Axel berbuat mesum di apartemen. Kalau saja telat datang dan masuk, Anggara yakin mereka akan melakukan lebih dari ini. Kalau terjadi Anggara kecolongan dan merasa gagal menjadi kakak.

"Tidak sopan?!"

"Iya. Keluar dulu, kekasih saya ketakutan," kata Axel.

Anggar menggeleng tidak percaya dengan respons Axel yang tidak ada malu dan takut saat kepergok. Anggara melipat kedua tangan di depan dada.

"Jangan pelukan terus Fredella, sini kamu!"
Anggara menarik tangan Fredella agar terlepas tetapi Axel menepis tidak terima.

"Tidak sopan main pegang-pegang tangan perempuan." Axel memperingatkan.

"Fredella sini!" perintah Anggara lagi mengabaikan ucapan Axel.

"Fredella ... Mas hitung sampai tiga ya."
Bukannya melepaskan malah Axel mempererat. Tidak semudah itu. Lagi pula Anggara tahu darimana Fredella dan apartemen ini.

"Muka kondisikan, kekasih saya jadi takut. Sudahlah Anggara jangan berlagak sok kenal dengan Fredella. Keluar saja," usir Axel tanpa merasa bersalah.

Fredella memberikan cubitan kecil pada Axel, jangan banyak bicara kita sedang dalam bahaya, sayangnya Axel biasa- biasa aja dalam keadaan genting seperti ini, sedangkan Fredella sudah benar-benar takut. Untuk mendekati Anggara saja tidak punya nyali.

"Yang harusnya keluar itu kamu bukan saya, duda."

"Sembarangan. Kalau mau ketemu memberi kabar dulu seperti biasanya. Lagi pula bagaimana bisa kamu masuk rumah orang sembarangan?"

Anggara tertawa. " Saya bebas masuk rumah ini kapan pun. Saya tidak ada niat bertemu denganmu jangan percaya diri. Saya ingin bertemu adik saya," jawab Anggara.

Tunggu. Axel belum menyimak dengan baik rupanya, Axel baru sadar jika Anggara adalah saudara kandung Fredella.

"Mengigau Kamu?"

"Nggak. Kaget?"

"Biasa aja." Sahut Axel walau sebenarnya Axel sangat terkejut. Takdir dan kenyataan yang mengagetkan.

"Awas jantungan. Apalagi umur sudah tua, mesum sama yang lain jangan adik saya. Fredella adik perempuan satu- satunya demi apa pun saya tidak terima."

Axel terdiam. Otaknya sedang berputar ini takdir atau kebetulan, kedekatan pertemanan antara Anggara cukup dekat. Lalu apa sebenarnya pertemanan ini jika tentang Fredella yang ternyata adik Anggara tidak bisa Axel ketahui.

"Bohong?"

"Nggak. Fredella kasih tunjuk kartu keluarga biar Axel percaya," suruh Anggara pada Fredella.

Pria berusia sama dengan Axel tiba-tiba melepaskan Fredella dari pelukan Axel lalu duduk di tengah-tengah mereka menyuruh keduanya bergeser. Fredella masih menunduk tidak berani menatap wajah kakaknya.

"Jadi ini alasan kamu pisah rumah, Fredella?"

"Nggak Mas, sungguh," jawab Fredella

"Kamu tahu kan perempuan satu-satunya di keluarga, masa tidak bisa jaga diri?"

"Mas ih .... Aku bisa jaga diri." Fredella bergelayut berharap Anggara tidak akan marah lagi.

"Kamu tahu konsekuensi perempuan dan laki-laki dalam satu ruangan itu apa? Kamu bisa rusak, menyesal Fredella."

"Sayangnya saya tidak akan merusak adikmu, hanya ciuman. Menandakan cinta saya pada Fredella. Jangan munafik kamu dan istrimu sebelum menikah sama seperti yang terjadi hari ini." Axel menyela di antara keduanya.

Fredella melotot ke arah Axel, bisa-bisanya Axel berbicara seperti di depan Anggara. Kalau sampai Anggara semakin marah

-TBC-
Vote dan komentar sebanyak-banyaknya^^

Instagram: Marronad.wp

Marronad

Falling In Love With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang