Tiga Puluh Tiga

3.8K 196 1
                                    

"Lo balik ya Ner. Gara-gara lo tugas gue nambah ni. Sumpah ya, Si Gatot mau gue ketok kepalanya, seenak jidatnya nyuruh gue ngerapel tugas lo."

"Hahaha ya gapapa kali. Sesekali doang."

"Lagian jatah cuti gue masih banyak." Sambung Nera.

"Ya kalok mau cuti tau diri njul. Janjinya sehari, taunya nambah. Keenakan lo."

"Yah gimana, Papa gue masih kangen sama anaknya yang paling cantik."

"Halah alesan. Merid belum, honeymoon apalagi, ujung-ujungnya nangis Bombay lo lagi baru menikmati masa-masa pengantin baru eh disuruh balik kerja."

Suara Gita menggelegar dibalik gawai Nera. Tadi pagi ia mengirim email kepada Pak Gatot atasan mereka, meminta penambahan masa cuti dengan alasan mendesak urusan keluarga. Awalnya Pak Gatot tidak mengizinkan dan akan memotong gaji Nera, tapi Nera memohon karena ini urusan yang sangat mendadak, dan seumur Nera kerja baru kali ini pengujian cutinya dilakukan mendadak. Bisa dibilang izinnya kali ini sebagai bentuk dispensasi sebagai karyawan senior.

Bicara tentang Gita, teman Nera yang satu itu memang belum sama sekali tau masalah Nera, yang dia tau saat ini Nera pulang bersama Cakra untuk memantapkan hubungan mereka. Tapi apa mau dikata, tidak semua ingin menjadi nyata, tidak semua harapan berjalan seirama dengan keadaan.

Sekarang baik Nera maupun Cakra hanya bisa berdoa dan berusaha, memperlihatkan seberapa besar cinta mereka walaupun kenyataan bukan hanya jarak yang menjadi penghalang tapi juga restu.

Jika diingat tadi malam ada yang mencurigakan dengan Cakra, setelah dia pulang bersama Om Wawan, gurat wajahnya tidak selunglai biasanya, juga Papanya yang tidak menunjukkan urat ototnya.

Dari kemarin Nera penasaran dengan obrolan kedua pria yang sangat berharga dihidupnya, tapi sampai sekarang Cakra belum mau membahas perihal itu, selalu ada caranya mengalihkan pertanyaan Nera.

Cakra
Gimana izinnya? Gak masalah kan?

Nah si objek muncul mengirim pesan, bukan dengan salam pembuka, atau ucapan selamat pagi ala-ala pasangan lain. Nera tau Cakra punya caranya sendiri menyampaikan rasa sayangnya, kata-kata romantisnya, atau tindakan yang selalu menjadi bukti betapa berharganya Nera untuk dirinya tapi itu tidak berlaku kalau mereka sedang berkirim pesan seperti sekarang.

Nera
Enggak.

Cakra
Aku udah di RS. Bentar lagi jadwalnya operasi. Doain ya.

Yang seperti ini yang Nera suka, Cakra itu selalu memberi kabar sesibuk apapun dirinya, dan tetap menyempatkan waktu ketika Nera membutuhkan dirinya.

Nera
Iya, semoga berhasil.

Pesan itu hanya berakhir dengan tanda ceklis dua, belum dibaca oleh si penerima. Mungkin dia sudah mulai melakoni perannya sebagai dokter penyakit dalam yang juga turut andil melakukan operasi.

Nera turun kebawah mencari Papanya, hari Rabu Papanya memang masuk sedikit siang. Makanya di jam sembilan ini beliau masih berdiri di taman belakang, merawat burung-burungya.

"Pa." panggil Nera yang sedang berdiri tepat di belakang Papanya.

Pria paruh baya itu hanya berdehem, tidak berniat melirik putrinya sama sekali, masih asyik berkumpul bersama binatang kesayangannya.

"Nera mau tanya boleh?"

"Apa?"

"Tadi malam," Jena sejenak, "Papa sama Cakra bicara apa?"

"Dia gak ada ngasi tau kamu?" Papanya balik bertanya.

Nera menggeleng, masih menatap Papanya yang kini sudah saling berhadapan, "Oh baguslah." Balasnya.

Independent of Love (Selesai)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora