Tiga Puluh

3.7K 213 7
                                    

Ucapan Om Wawan membius Cakra untuk diam, debaran jantungnya, mulutnya yang membungkam, matanya yang masih menatap Ayah dari kekasihnya, sulit untuk dipercaya. Ini tidak adil, benar-benar tidak adil, dia juga korban lalu kenapa dia juga dianggap predator disini. Dia yang juga tersakiti seolah dia yang menyakiti.

Karna demi Tuhan, mengingat bagaimana terlukanya perasaan Bundanya saja dia bersumpah tidak akan pernah memainkan perasaan wanita, itu sebabnya seumur hidupnya,hanya Nera satu-satunya wanita yang dikenalkannya ke publik, buk Irene—kepala panti—karna Cakra bersumpah hanya ada satu wanita yang berdiri disampingnya, dan itu Nera.

Seandainya dia bisa memilih, Cakra juga tidak ingin memiliki Ayah dari seorang peselingkuh seperti itu, laki-laki yang tega menukar peran istri layaknya ratu dirumah berubah menjadi kacung yang bisa dipermainkan, dicampakkan begitu saja. Hanya karena nafsu dia mengingkari janjinya, hanya karena wanita lain dia melupakan seberapa besar perjuangan istrinya selama ini.

Dia juga tidak ingin tumbuh ditengah pertengkaran orangtuanya. Bukan pertengkaran yang hebat, tapi lebih kepada Papanya yang terus mencari kesalahan dan Bundanya yang mengalah, meskipun beliau tetap bertanggung jawab urusan finansialnya, tapi urusan cinta dia ingkar, padahal fondasi yang kukuh dari rumah tangga adalah cinta.

“Papa!!” jeritan Nera menyadarkan Cakra dari lamunannya. “Papa gak bisa menilai Cakra hanya karena kelakuan Papanya.” Suara Nera bergetar, wanita itu sudah menangis.

“Gak semua sifat orangtua harus nurun keanaknya.” Nera membela dengan suara yang mulai lirih terputus-putus.

“Ohya?” Papanya menyangkal, “Harusnya kamu bisa belajar dari Kakakmu. Dia menikahi pria yang punya garis keturun poligami. Dan lihat, kakakmu ditinggal, dia lepas tanggung jawab.”

“Om saya, saya benar-benar tidak ada keinginan untuk menyakiti Al.”

“Semua pria akan seperti itu awalnya. Dan berjalannya waktu janji-janji dalam hati bisa terkikis hanya karna perasaan serakah.” 

“Saya tidak pernah menyesal dilahirkan dari Rahim Bunda saya, dia baik, penyabar, dan pengertian, bagi saya dia gambaran malaikat nyata yang hidup di dunia. Yang saya sesalkan adalah perlakuan Papa saya. Kalau Om hanya memandang saya dari bagaimana kelakuan Papa saya hanya karena dia selingkuh, Om harus tau kalau saya juga korban. Saya korban dari kebejatan Papa saya.”

“Waktu itu saya masih terlalu dini untuk memahami kondisi dan perasaan Bunda saya, tapi yang saya tau selalu ada isak tangis disujud malamnya, selalu ada doa yang tetap dia titipkan untuk Papa saya. Dan hati saya benar-benar sakit dengan keadaan seperti itu.”

Om Wawan masih diam mendengar penuturan Cakra, sedangkan Mama Nera menggapai lengan suaminya menyalurkan ketenangan.

“Saya lahir dari keluarga brokenhome, saya tumbuh dewasa lebih cepat dari anak-anak pada umumya, karena saya menjadi saksi bagaimana terlukanya Bunda saya, saya berjanji melindungi Bunda saya, sudah cukup tangis untuk suaminya, dan sejak saat itu saya berikrar untuk tidak melukai wanita manapun karena dari Bunda saya belajar bahwa tangisnya wanita itu berharga. Dia bisa terlihat sangat kuat di depan banyak orang, padahal dia sangat rapuh dalam kesendirian."

"Dan, Nera satu-satunya wanita yang saya dekati seumur hidup saya Om, dia satu-satunya wanita yang saya inginkan menjadi istri saya, dan hanya satu. Bagi saya melukai perasaan wanita sama dengan melukai perasaan Bunda saya. Dan saya tidak akan membiarkan darah daging saya tumbuh tanpa kehadiran seorang Ayah. Cukup saya yang merasakan.”

Papa Nera tetap menggeleng, buta akan semua pernyataan Cakra, cukup baginya melepaskan puteri sulungnya kepada laki-laki yang hanya mengutamakan nafsunya, dan kesalahan itu tidak akan dibiarkannya terulang kembali. Dia hanya punya dua puteri dan Nera pantas mendapatkan laki-laki yang lebih baik dan tentu dari keluarga yang baik juga.

Independent of Love (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang