Forty Eight : Thought of Effort

973 92 3
                                    


     Shawn dan Karen menatap foto yang ada di ponsel milik Shawn dengan senyuman kecil dan air mata yang terus mengalir di pipi mereka.

"Wonderful.. my.. our baby boys are wonderful.." Shawn berbisik ke dirinya sendiri, sedangkan Karen mengusap-usap layar yang menunjukkan foto tersebut. "They look like you when you were a baby. I still remember those days." Karen tersenyum mengelus pundak anaknya.

"I think I just did a really big mistake. I don't know how to fix this." Shawn menatap anak-anaknya dan Karen dengan wajah sendu. "I really want to be there for them. I ruined my family.."

"People make mistakes, Shawn."

"But I did a really big one. I lost my wife and my kids for it." Shawn menghembuskan nafas kasar sembari menjambak rambutnya sendiri karena merasa sangat gagal menjadi seorang lelaki.

"I wasn't there when they were born, when Vania was in pain, and.. those sleepless nights.. Oh, what have I done?!" Shawn mulai menangis memaki-maki dirinya sendiri atas segala luka dan rasa sakit yang dia sebabkan ke wanita yang dia cintai.

Vania yang ia cintai dan anak-anak mereka yang tak berdosa sama sekali.

Mungkin di awal, pernikahan mereka merupakan sebuah pelarian daripada pertanyaan menuntut dari orang tua mereka tentang kapan berkeluarga, tetapi lama kelamaan Shawn mulai mencintai istrinya. Ditambah ada si kembar, Shawn merasa lengkap sekali.

Seolah-olah selama ini dia bekerja keras membangun perusahaannya sendiri menjadi terbayar dengan rasa kebahagian yang dia tak pernah bayangkan sebelumnya. Tapi, sekarang kebahagiaannya memilih untuk pergi dan menjauh karena tingkah laku bodoh Shawn sendiri.

Dia sangat sangat menyesal.

Seharusnya dia membicarakan semuanya dengan Vania dari awal. Tapi, sekarang sudah terlambat. Dalam perjalanannya ke Indonesia kemarin, Shawn mendapat telepon bahwa pengacara keluarga Vania sudah mengirimkan surat perceraian antara dirinya dan Vania.

Tapi, Shawn tidak mau kehilangan mereka.

Dia tidak mau berpisah dengan sumber kebahagiaannya. Dia mencintai Vania dan anak-anak mereka butuh sosok ayah. Shawn tidak bisa dan tidak mau membayangkan jika anak-anaknya nanti memanggil laki-laki lain dengan gelar yang seharusnya menjadi milik Shawn itu.

Jika saja Shawn tidak menghancurkan semuanya.

****

Vania's POV

"Vania, eat your dinner."

Gue nelen ludah gugup dan ngangguk saat gue dengan susah payah nyuap makanan ke mulut gue. Masakan mama enak banget malah, tapi kejadian tadi siang membuat suasana ruang makan sekarang canggung dan kaku.

Selera makan gue hilang gitu aja.

Gue jadi berpikir. Apakah gue dan keluarga gue mengambil keputusan ini terlalu jauh sampai bercerai? Masalahnya, sekarang ada kembar di antara kita.

Gue gak kebayang aja gitu kalau mereka udah agak besar gitu, terus nanya kenapa papanya mereka gak tinggal bareng. Atau kenapa mereka gak seperti temen-temen mereka yang ada ayah dan ibunya berdampingan lengkap.

Gue takut.

Jujur aja. Gue takut banget kalau gue bakal ngehancurin kebahagiaannya si kembar dengan perceraian ini.

Mereka butuh sosok ayah.

Gue bisa aja ngebesarin mereka dengan bantuan keluarga gue dan ngebiarin mereka ngabisin waktu sama Shawn beberapa kali dalam seminggu. Tapi, gue gak sampai hati untuk bilang kalau mama dan papanya mereka itu gak sama-sama lagi.

Karena papa mereka idiot.

Karena papa mereka keras kepala.

Dan karena papanya mereka bego.

Kalau aja Shawn cerita semuanya dari awal, mungkin gak akan gini jadinya. Untuk sekarang, gue pun gak ada kepikiran apa-apa selain ngebesarin anak-anak gue dan membuat mereka bahagia.  With or without their Papa.

Setelah berhasil makan beberapa suapan, gue pun pergi ke kamar sama si kembar di lengan gue dengan alasan ganti popoknya mereka sebelum tidur.

Setelah selesai dengan urusan popok, gue pun membiarkan mereka berbaring di atas kasur gue. Bantal dan guling gue posisikan di pinggir-pinggir mereka supaya gak jatuh. Gue tersenyum saat mata mereka terbuka lebar, sebuah gen yang turun temurun dari gue dan Papa.

Mata biru yang intens.

Terang kalau seneng dan biasa aja. Gelap kalau sedih dan lainnya.

"Babies. Should I forgive your daddy?"kata gue sambil perlahan berbaring di antara Nicolas dan Nicolaj. "Bald babies." Gue terkekeh sedikit melihat kepala mereka yang botak.

Mama maksa untuk cukur mereka sampai botak.

Kata mama, semakin sering dicukur, semakin cepet dan tebel rambutnya tumbuh.

Entah logika darimana. Tapi, ya, gue no problem aja sih. Mereka masih bayi ini. Mungkin setelah mereka 3 bulan nanti, gue bakal mulai biarin rambut mereka tumbuh.

"You're hungry, hmm?"tanya gue saat si Nonoj mulai rewel gitu. Saat gue membuka kancing baju gue, si Nonos kentut. Keras banget malah.

Gue gak bisa nahan ketawa saat melihat si Nonos nyengir otomatis gitu. "Turunan bapaknya ini. Kentut keras banget."

Gue tersenyum saat si Nonos jadi rewel juga. Tau aja waktunya makan dan bobo. Gue pun mendekap mereka di lengan gue dan membiarkan mereka mengenyangkan diri mereka sampai tertidur gitu.

Gue gak bisa boong.

Gue harap Shawn di sini untuk bantu gue ngurus mereka karena gue gak tega kalau Mama atau Papa harus bantu gue terus-terusan. Mereka itu harusnya istirahat dan seneng-seneng aja. Gak perlu dibebani sama yang beginian.

Tapi, gue sendiri gak tahu apakah gue siap menerima Shawn kembali di hidup gue. Usahanya dia aja gak keliatan. Dia gak bisa seenaknya berpikir kalau dengan maaf semuanya beres.

Dimana-mana juga kalau mau apa-apa kudu usaha. Gak bisa kalau ngomong doang. Gue masih mau melihat sejauh apa Shawn mau berusaha untuk dapetin gue lagi di hidup dia.

****

Mood nulis w turun lagi :(

See u

DA BOSSWhere stories live. Discover now