Twenty One : The Day After...

1K 110 3
                                    

"Ms. Dreswton?" tanya seorang pria paruh baya di depan mobil saat gue baru aja keluar dari gedung apartemen. Gue ngangguk kikuk, "Yes? Is everything okay?"

"Saya diminta untuk mengantar anda bekerja. Ah, ya, perkenalkan, saya Wesley Abraham. Supir anda pagi ini."

"M-maaf, tapi saya tidak mengenal anda. Siapa yang meminta anda mengantar saya?"

"Permintaan langsung dari Mrs. Alexanders. Katanya sebagai permintaan maaf karena tuan muda tidak dapat mengantar anda pulang kemarin sore."

Gue tercengang. Ya, ampun, padahal mah gak apa-apa gue kemaren pulang sendirian. Asli. Kagak perlu dah pake gini-gini segala.

Tiba-tiba mobil Milly berhenti di belakang mobil pria itu. "Van, shall we?" tanya Milly. Gue natap dia bingung, "Umm.. Saya berangkat bersama teman saya." kata gue nggak enak ke bapak-bapak itu.

"Nona, maaf, tapi bisa anda mempertimbangkan lagi? Saya merasa tidak becus jika tidak bisa menjalankan perintah Nyonya besar dengan baik. Saya takut beliau kecewa."

Duh, bingung dah, kasian juga. Soalnya kemaren gue udah nolak permintaan ibunya Shawn sekali, masa sekarang nolak lagi? Nggak enak juga. Mana ini permintaan ibu bos lagi. "I think I'll go with him, Mil. Sorry, see you at work."

Milly ngangguk ngerti dan ngejalanin mobilnya, gue ngalihin pandangan ke pria itu yang lagi senyum dan ngebukain pintu penumpang buat gue. Setelah ngangguk dan makasih, gue pun masuk dan duduk manis.

****

Gue lagi kerja dan tinggal nyelesain beberapa detail sebelum kirim laporannya via email ke kepala divisi gue. Sebentar lagi adalah jam makan siang. Gue nggak sabar. Kalian tau kenapa? Karena hari ini gue masak sendiri hehe. Makanan Indonesia pula. Ah, gue kangen banget rasanya masakan mama. Untung aja mama sering doktrin gue buat belajar masak dulu, rasanya gue nyesel pernah kabur-kaburan waktu disuruh belajar masak dulu sama mama. Lihat sekarang? Yang mama ajarin kepake pada akhirnya.

Emang sih hanya masak spagetti doang. Tapi, ya, lumayan lah.

Gue baru aja hit send di kolom email gue dan mau ambil kotak makan siang gue di laci meja saat telepon gue berbunyi. Gue pun ngangkat dan bicara formal. Si Shawn. Dia suruh gue print out dokumen yang baru gue kerjain tadi dan langsung kasih dia. Napa sih? Gak bisa gitu liat gue seneng dikit?

Gue pun print out dan masukin kertas-kertas itu ke map. Gue mutusin sekalian bawa kotak makan siang gue aja biar gak bolak-balik ke sana ke mari.

Gue ketuk ruangannya dan seperti biasa lampunya berubah warna nandain gue boleh masuk. Gue pun masuk perlahan dan kaget. Ada Mrs. Alexanders di sana. Please, muka gue mau ditaro di mana? Gak cukup apa kita ketemu kemaren?

"Permisi, saya ingin mengantarkan ini." kata gue ngangkat map. Shawn melirik gue dan suruh simpan di meja. "Shawn, mana sopan santunmu?" sela ibunya, dia hembusin nafas berat gitu, gue pengen ketawa gak tau kenapa. "Terima kasih, Ms. Drewston." katanya dengan senyum paksa. "Sama-sama, Tuan."

"Hey, apa yang pernah ku katakan tentang jangan terlalu formal?"kata ibunya Shawn tiba-tiba. "Eh? T-tapi dia adalah b-bos saya?"

"Jika Shawn adalah bosmu, maka aku adalah bosmu yang lebih besar darinya karena aku yang melahirkannya dan aku perintahkan agar kau tidak terlalu formal dengannya atau denganku."

"Mom, t--"

"Shawn, bosmu belum selesai bicara. Diam. Jangan memotongku. Oh, dan kau Vania Drewston, panggil dia Shawn saja. Jangan memanggilnya Tuan atau Mr. Alexanders. Tidak pantas."

Anjir. Gue sekarang tau aura bossy dan ketegasan Shawn dapet darimana. Emaknya tegas banget, edan. Emaknya aja kayak gini, gimana bapaknya? WUAW.

"Y-yes, ma'am."

"Panggil aku Karen."

"Mom! Itu berlebihan! Ms. Drewston, panggil dia ma'am atau Mrs. Alexanders."

"Shawn, jangan membantah ibumu."

"Tapi memanggilmu dengan nama lebih tidak pantas. Kau lebih tua dan harus dihormati dengan benar. Aku dan Nicole saja tidak pernah berani memanggilmu hanya dengan nama depan. Kau sendiri yang mengajarkan kalau itu tidak sopan."

"Baiklah. Vania, mulai sekarang panggil aku mom kalau begitu."

"Hah?"suara itu keluar dengan mulus dari mulut gue dan Shawn yang tercengang. Gila, gila, gila!

"M-maaf, tapi saya rasa itu.. Lebih tidak pantas lagi," kata gue sesopan mungkin. Plis, gue gak mau lagi ada konflik apa-apa sama kerjaan dan bos-bos gue.

"Kalau begitu panggil aku Karen."

"MOM!"

"Diam, Shawn."

Duh, napa jadi gue yang bingung gini sih? "Jadi, Vania, mana yang lebih kau sukai? Mom atau Karen?"

"Err.. S-saya tidak tahu,"

"Putuskan. Seorang karyawan di Alexanders tidak boleh labil."

"B-baik...., Mom..?"

"Bagus. Biasakanlah memanggilku itu."

"Mom!"

"Diam, Shawn." katanya penuh penekanan dan dingin. Gue gak pernah liat Shawn senurut dan setidak berdaya ini. Karna biasanya kemana-mana dia bawa image cool dan dingin dingin berwibawa gimanaa gitu. Eh, sekarang kayak anak umur 9 taun gini pas sama emaknya.

"Ngomong-ngomong, kau membawa apa?" Emaknya Shawn lirik-lirik tangan kiri gue yang lagi jinjing paperbag yang isinya kotak makan siang itu. "O-oh, ini makan siang saya, Ma-om-- Mom."

"Beli di mana?"

"Ini saya yang membuatnya sendiri." kata gue canggung. "Kau bisa masak?" dia mengangkat alisnya excited.

"Begitulah, mom."

"Wah, boleh aku mencobanya?"

"I-ini hanya spagetti biasa. Mungkin, m-mom bisa mendapatkan yang lebih lezat daripada buatanku." kata gue gak enak. Soalnya gue takut rasanya malu-maluin gitu. Tadi belom sempet gue cicipin sausnya soalnya takut telat.

"Ah, tidak apa-apa. Ayolah, aku penasaran dengan masakanmu, boleh, ya?" dia natap gue berbinar, dan gue ngerasa gak enak kalau nolak. "B-baiklah. Tapi aku akan menghangatkannya dulu. Permisi," kata gue berbalik mau keluar dari sini.

"Eh, di sini ada pantry. Kau tidak perlu keluar lagi hanya untuk menghangatkan makanan."

Gue nepok jidat, untung aja mereka gak bisa liat ekspresi gue karna lagi balik badan. Gue coba tersenyum seadanya, "Maaf, aku lupa. He he."

****

maaf, mau UAS dan stress.

Love,

Imi x

DA BOSSDove le storie prendono vita. Scoprilo ora