Bangkai

37 2 0
                                    


Senja telah menarik masa nya, kumandang adzan menenggema di sela sela suara kehidupan lainnya yang melenakan. Kurebahkan tubuhku di ranjang yang seharian tak pernah kunikmati kehangatannya. seharian bekerja di tempat yang baru membuat tubuhku terasa begitu lelah. Bagaimana tidak? menyelesaikan laporan yang bertumpuk-tumpuk di meja kerja. Belum lagi menyiapkan dua rapat di tempat terpisah rupanya membuatku enggan untuk beranjak mengambil air wudhu.

Seragam kerja masih kupakai, mataku semakin berat karena kantuk, bantal yang dingin selimut bulu yang terasa hangat seakan melenakan aku dalam mimpi.

Namun sekejap saja aku terbangun, kulihat jarum jam yang memutar di tanganku. Masih ada banyak waktu untuk ganti baju dan shalat, cukup tidur lagi lima menit. pikirku.

Kupejamkan lagi mataku, pergi ke alam mimpi, mengistirahatkan raga yang seharian ini kuperas untuk bekerja tanpa istirahat yang cukup.

"Ssssttt mbak.. jangan bilang siapa-siapa ya.. aku sembunyi disini"

Aku terperanjat!

Terkejut.

Kusingkap rambutku dan mendengarkan lagi siapa yang mengajakku bicara barusan.

"Siapa? Nilam?? itu kamu ya??" tanyaku sambil mengetuk dinding yang terbuat dari triplek tipis. Aku pun menunggu, berharap ada jawaban dari anak tetanggaku, Nilam, yang sering kali menggodaku dengan mengetuk dinding kamarku.

"Nilam?" tanyaku lagi. sambil mengetuk dinding tripleks, tapi tak ada jawaban.

Ingatanku beralih ke tiga hari yang lalu, Nilam dan ibunya mengembalikan kotak makananku yang mereka isi dengan gorengan sore itu, sambil berpamitan akan mudik ke kampung halaman ayahnya. sore itu juga.

Tidak mungkin Nilam mengetuk dinding kamarku, ia mungkin sedang mudik, dan sampai sekarang aku belum pernah melihat Nilam juga ibunya kembali ke kos-kosan kami. Dengan berat hati, akhirnya aku beranjak mengganti bajuku dan ambil air wudhu juga melakukan ritual shalat magrib.

Tak bisa dipungkiri selama wudhu dan shalat magrib, aku masih memikirkan, darimana suara itu berasal, suara anak kecil yang begitu jelas terdengar di kamarku, ada pemikiran gila yang terselip dalam benakku, Jangan-jangan memang benar ada anak kecil yang bersembunyi dalam kamarku, di lemariku? kubuka lemari plastik satu-satunya yang kumiliki. Ukurannya begitu kecil, dan penuh dengan baju koleksiku. Tak mungkin ada anak kecil masuk ke dalamnya, atau di bawah ranjang? segera ku singkap selimut bulu punyaku yang terkadang kuhampar hingga menutupi bawah ranjang. Tak ada siapapun di dalam kolong tempat tidur. Kalau ada ia akan terhimpit kotak-kotak buku punyaku yang tersusun rapi dibawah ranjang.

Waktu semakin larut, malam telah mengatakan, inilah waktunya untuk menyudahi rasa penasaran ini, akupun menghentikan semuanya. Kurebahkan lagi tubuhku di atas ranjang, mencoba untuk tidur tapi tak bisa sama sekali. Ada yang memaksaku untuk terjaga.

Dan itulah rasa lapar.

Penasaran yang memuncak, berhasil membuatku lupa akan rasa lapar yang sedari siang tadi menggerogoti perutku. Tapi jarum jam di dinding kos menunjukkan pukul sepuluh malam. SIapa juga yang malam-malam begini menjual makanan.

***

Keesokan harinya aku kembali pulang lebih lambat dari pekerja lainnya. Mengambil lembur untuk menambah pemasukan agar tahun baru mendatang bisa pulang kampung. Karena lebaran kali ini aku belum sempat pulang, baru saja bekerja di tempat yang baru, tak layak bagi pekerja baru untuk mengambil cuti lebaran. Apalagi uangku habis untuk membeli beberapa setelan kerja. Agar setiap hari aku bisa memakai seragam yang berbeda.

Masuk ke kamar, kulepas sepatu dan jas yang melekat di tubuhku sedari tadi. lalu kurebahkan tubuhku dengan nyaman diatas ranjang yang berhias selimut bulu kesayanganku.

KELAMWhere stories live. Discover now