Bolehkah?

47 3 1
                                    

Pertanyaan itu selalu kuutarakan pada semua orang yang kutemui. Awal mulanya, pertanyaan itu diajarkan oleh ibuku. Ibu selalu mengajarkan kepadaku, bahwa aku harus menanyakan hal itu bila ingin melakukan apapun. Mulai dari makan, makanan yang tersaji setiap pagi dan sore di dapur, atau bila aku masuk kamar mandi, keluar rumah, memakai semua mainanku, menonton televisi, bahkan ketika usiaku menginjak remaja, ibu selalu menuntutku untuk menanyakan bolehkah?

Ibu mengatakan padaku, bahwa kehidupanku sepenuhnya bergantung padanya.

"Jangan pernah melakukan sesuatu tanpa persetujuan ibu" Ia selalu menegaskan hal itu padaku, ketika aku ingin melakukan semua hal sendiri, tanpa meminta persetujuan darinya.

Usiaku semakin bertambah, anak-anak seusiaku kadang disebut remaja, tetangga yang usianya hampir sama denganku, selalu pergi keluar rumah tanpa menanyakan pada orang tuanya bolehkah?. Ketika aku bermain ke rumah seorang teman yang sekelas denganku, dirumah ia bebas memakan apapun yang ada dirumahnya, ia bebas menonton televisi tanpa ada batasan waktu, ia juga bebas melakukan hal apapun meskipun ibu dan ayahnya berada dirumah.

Suatu waktu, aku mencoba melakukan semua hal yang dilakukan oleh temanku itu. Kucoba untuk tak mempertanyakan lagi, bolehkah, bolehkah, kuhapus pertanyaan itu dari alam bawah sadarku sehari saja.

Namun, yang kuterima jauh dari yang kusangka.

Ketika itu, ibu baru pulang dari kantornya, ia melihatku yang sedang makan nasi bungkus yang kubeli di gang sebelah, lalu kumakan sambil menonton siaran hiburan kuis yang sekarang ini sedang naik daun dan jadi pembicaraan banyak orang.

Mata ibu melotot kearahku, kemarahannya tak bisa dibendung lagi. Ia melemparkan tas kerjanya ke arahku.

"Kamu dapat darimana makanan itu!!" tanya Ibu sambil membuang semua makanan yang masih kukunyah, jemarinya merogoh nasi-nasi yang terselip di gigiku, dan aku hanya bisa pasrah menerima perlakuan ibu. "Jangan makan sembarangan! ibu bilang apa! tanya ibu dulu kalau mau makan! kalau kamu beli sembarangan begini, kamu tahu gimana mereka masaknya!! gimana kalau mereka pakai bahan makanan yang udah basi terus dijual lagi? higienis apa enggak kamu kan ga tahuuu!! bandel banget sih!! kamu niru siapa ?? makan sambil nonton tivi!!? niru temen kamu itu ya?? yang ngajak kamu bolos terus pulang ke rumahnya??"

"Rian ndak bolos ibu... Rian diajak ke rumah David pas sekolah diliburkan setengah hari" kataku pada ibuku yang kemudian malah memelukku begitu erat.

"Rian... kamu anak ibu satu-satunya... nak... ibu ndak akan biarkan kamu sakit... selama ini ibu sudah jaga kamu dengan baik... bantu ibu untuk bisa merawat kamu sampai dewasa nak... ibu ingin anak ibu jadi anak yang hebat,... besok-besok jangan bergaul dengan David lagi ya nak..." kata ibu kala itu.

Sejak kejadian itu, ibuku semakin mempedulikan keadaanku, dan semuanya menjadi runyam. Perhatian ibu terhadapku semakin menjadi-jadi. Setiap hari ia mengantarku ke sekolah, seperti dulu ketika di sekolah dasar, berulang kali kukatakan pada ibu, kalau sebenarnya aku malu bila mendapatkan perlakuan seperti ini. Apalagi ibu selalu berdiri di gerbang sekolah menungguku sampai masuk ke dalam kelas. Mungkin menurut ibu, perhatiannya sangat diperlukan agar aku tak berteman lagi dengan David yang di cap nakal olehnya.

Namun perlakuan ibu terhadapku, berhasil membuat murid lain memandangku tidak normal. Setiap hari di antar ibuku sampai ke depan gerbang, sebelum pulang harus cipika cipiki, ejekan yang diarahkan kepadaku semakin menjadi-jadi. Perundungan setiap hari kuterima, apalagi tak ada yang mau memberikan kesempatan untuk berteman denganku.

Mungkin mereka merasa jengah, ketika mencoba berteman denganku, ibu akan menghubungi mereka di kemudian hari, lalu menanyakan banyak hal yang tak semestinya.

Kau tahu?

kehidupanku yang seperti itu semakin membuatku berpikir sesuatu yang gila. Apakah aku memang anak kandung dari ibuku? atau aku hanya sebuah proyek kehidupan yang harus berjalan sempurna, berlaku sempurna, dan mengapa ibu terlalu peduli pada kehidupanku? tak seperti ibu dari teman atau tetanggaku yang begitu berbeda dalam mencintai anaknya.

Tapi ibuku selalu berkilah

"Seorang ibu harusnya melakukan apa yang ibu lakukan, melindungi anaknya sebisa mungkin... sampai anaknya mampu melindungi dirinya sendiri"

Aku mulai merasa jenuh dengan kehidupanku, yang harus selalu bertanya padanya, bolehkah melakukan ini, bolehkah aku pergi kesana, hingga pikiranku akhirnya terpaut pada sebuah pertanyaan yang menggelitik rasa penasaranku.

"Bu, bolehkah kubunuh diriku sendiri?" tanyaku sore itu, ketika ia sibuk memasak di dapur.

"Pertanyaan apa itu?" tanya ibu seakan tak peduli pada wajahku yang memerah, menahan sedih dan amarah.

"Bu, bolehkah kubunuh diriku sendiri sekarang?" tanyaku sambil merebut pisau dari tangan ibuku.

"Bunuh diri dengan pisau lambat matinya, kalau kau tak tahan hidup dengan ibu, bunuh diri saja dengan menggantung dirimu di ruang tengah, mau?" balas ibu begitu datar, ia sama sekali tak menunjukkan rasa takut kehilangan.

"IBU!!! BOLEHKAH AKU MATI SEKARANG!!! AKU SERIUS!!!"

"Silahkan... kau lelah dengan ibu? kalau kau lelah, silahkan saja bunuh dirimu... tapi ibu mohon, jangan ada darah berceceran di rumah ini... sudah cukup kau membuat ibu sakit hati dengan pertanyaan itu" kata ibu lagi membuatku semakin kecewa

"Ibu... apakah ibu tak marah padaku? ibu tidak takut kehilangan anak bu? aku anakmu bu..."

"heh... hehehehe" tawa ibu sambil merebut lagi pisau yang ku genggam "Takut? untuk apa takut? marah... sebenarnya aku marah padamu, sudah bertahun-tahun kau kuberi kehidupan, tapi akhirnya kau memutuskan untuk bunuh diri, kecewa sudah pasti... tapi aku percaya... suatu hari... aku akan dapat lagi anak yang lebih cerdas darimu"

Pikiranku semakin kacau, tak kuperhatikan lagi kemana ibu pergi setelah ia mengungkapkan semua itu. Apakah dengan pernyataan itu sudah pasti aku bukan anaknya? lalu aku ini anak siapa? siapa orang tuaku? apakah aku harus mencarinya?

Namun sayang, sebelum ada niatan itu, ada seseorang yang menjerat leherku dari belakang. Ia wanita yang selama ini mengaku menjadi ibuku.

"Kamu itu terlalu lamban!! Rian! aku juga sudah muak dengan wajahmu! tingkahmu!! ingin bunuh diri saja pakai tanya-tanya!"  

THE END 

"Bolehkah?" 

Ay-Nana - Banjarmasin 25/6/19

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang