ROLL... ACTION!

19 1 1
                                    

Setelah mengiyakan ajakan dari Isdan untuk belajar bareng di cafe Century, Ido langsung bersiap-siap untuk berangkat. Biasanya saat pergi-pergi dia cuma ambil saja yang ada di lemari pakaian, tidak perlu bercermin, langsung sisiran, dan cus berangkat.

Tapi, berhubung ini malam yang spesial buatnya dia menyiapkan diri sebaik mungkin. Cuci muka, sikat gigi, paket lengkap perawatan wajah pun dia lakoni. Saat berpakaian dia mulai pilih-pilih yang cocok dengannya supaya nampak match dan cocok supaya dia kelihatan lebih macho. Tidak lupa dia bercermin dulu, memastikan tatanan rambutnya sudah oke punya.

"Woo... Sip. Lihat saja pasti dia tidak percaya dengan dandananku ini. Kalau tidak... Kau pasti bercanda. Hahaha... ", gumamnya dalam hati dengan bercermin, menunjuk-nunjuk dirinya sendiri pada bayangannya di dalam cermin.

Ido tidak punya motor pribadi. Jadi, setiap dia keluar pasti harus memanggil babang Grab atau kalau bisa nebeng dengan teman. Berhubung ini Isdan yang mengajak, pasti dia akan menjemput Ido dengan sepeda motor lakinya itu.

"Kontak dulu lah sama Isdan. Dah sampai mana dia?", bisiknya dalam hati.

"Dan. Dah sampai mana?", Ido mengirim pesan melalui ponselnya.

"OTW. Sabar.", balas Isdan cepat.

*OTW adalah singkatan dari bahasa Inggris "on the way" yang berarti "dalam perjalanan"

"Oo okk.. Bentar. Kalau kamu otw berarti kan lagi di jalan? Kalau iya terus kok bisa HP-an? Sakti lu ndro.", Ido menanggapi balasannya.

"Lo yo iyo tah.", timpal Isdan lagi.

"Ya wis (udah). Cepetan. Kutunggu.", Ido mengiyakan celotehannya.

"Pasti lagi di lampu merah itu makanya bisa bales cepat. Keberuntungan pemula.", batin Ido.

Ido menunggu di ruang tamu rumahnya dengan tidak tenang. Bukan karena ia gelisah karena akan bertemu dan bertatap muka. Tapi karena dia sudah tidak sabar untuk itu. Ia hanya memainkan ponselnya saja untuk membuang-buang waktu selagi ia menunggu Isdan sampai. Membuka dan melihat display profile-nya Yuli sampai kesengsem sendiri. Sembari melihat fotonya, terbesit pertanyaan yang sama itu lagi.

"Kapan aku harus mengungkapkan perasaanku ini ya? Membingungkan sekali. Padahal melihat teman-teman yang lain berpacaran kayaknya terlalu mudah.", gumam Ido.

"Hari ini dia gandengan dengan si A, besoknya boncengan dengan si B. Gimana ya? Apa mereka nggak tahu perasaannya si cewek? Memangnya pacaran itu mainan sampai-sampai semudah itu putus nyambung dengan si doi.", lanjutnya lalu merasa kesal sendiri membayangkan apa yang baru saja ia batinkan. Mengusap rambutnya yang super duper lurus itu ke belakang seakan mengatakan "kok bisa ya terjadi seperti itu?" keheranan.

"Kalau aku seandainya bisa sampai... Hmm.. pacaran. Pasti nggak akan jadi separah itu. Namanya pacaran itu kan bukan sekedar stempel yang kalau sudah kedaluarsa tinggal dibuang karena sudah nggak layak lagi. Tapi, mereka sepertinya mempunyai pemikiran seperti itu. Sampai-sampai juga nggak tahu tempat dan waktu saat pacaran. Benar-benar anak jaman now. Huft...", gumamnya lagi.

"Ting tong.", suara notif dari ponsel Ido bunyi.

"Brrt.. brrt...", tidak lama kemudian telepon Ido bergetar.

Itu tandanya Isdan sudah datang. Dia biasanya langsung mematikan mesin sepeda motornya sesaat sebelum sampai di depan rumah Ido dan menghubunginya dengan mengirim pesan. Tapi, kalau tidak dijawab dia langsung menelepon. Jadi berasa kayak ninja Isdan, diam-diam sudah nongol di depan rumah orang.

Ido langsung berlari menuju ke kamar mencari jaket hitam dengan penutup lehernya yang khas itu. Lalu, pamit kepada kedua orang tuanya untuk kerja kelompok.

CAH RANDOMWhere stories live. Discover now