Bab 1 Suara Aneh

594 13 4
                                    




Menjelang pagi, di suatu hutan Sumatera yang lebat, matahari masih malas menampakkan dirinya. Suasana saat itu masih sangat sunyi. Kicauan burung pun belum ada yang terdengar. Semuanya masih sepi. Tiba-tiba terdengar bunyi-bunyian aneh, seperti sebuah lolongan kesedihan atau panggilan panjang. Bunyi itu terdengar  hingga mencapai suatu kompleks perkebunan kelapa sawit yang berdiri di tengah hutan tersebut.  Seorang anak laki-laki yang sedang tidur terbangun.   Ia  keluar dari tempat tidurnya, lalu berjalan terburu-buru menuju jendela kamar. Ia berjalan agak sedikit pincang. Kedua kakinya sejak lahir memang sudah tidak sama panjang, walaupun hanya berbeda sekitar dua centimeter.  

Ia membuka jendela kamarnya lebar-lebar, berharap mendengar bunyi itu lebih jelas. Seketika jendela dibuka, udara segar pagi langsung terhisap,  dan terbentang di hadapannya danau dengan pegunungan bukit barisan dibelakangnya. Beberapa saat ia menunggu, tetapi keadaan sekitar kembali sunyi senyap.

Anak itu berupaya menemukan sumber suara, tapi pandangannya terhalangi oleh sebuah pohon besar yang tumbuh di samping jendela kamarnya. Apalagi dengan cahaya matahari pagi yang masih remang-remang dan kabut yang turun dari pegunungan.  

Kenapa suara-suara itu selalu diam saat aku membuka jendela! keluhnya. Yang jelas suara itu bukan suara raungan harimau, atau gajah. Apalagi suara serigala? Serigala kan tidak hidup di sini! sergahnya dalam hati. 

Suara–suara misterius itu membuatnya penasaran, semenjak ia dan papanya menempati sebuah rumah dinas  milik perusahaan perkebunan kelapa sawit. 

Anak itu kemudian melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 05.30 pagi, tiba-tiba terlihat seekor  burung kepodang. Burung itu berwarna kuning terang  dengan garis hitam melewati matanya. Ia hinggap di ranting pohon yang tumbuh di samping kamarnya. "Hei, Selamat pagi," sapa anak itu sambil menjulurkan tangannya supaya burung itu hinggap di lengannya.Tapi burung itu  tidak tertarik. Sang burung hanya menggerak-gerakkan kepalanya. Anak itu bersiul, mencoba menarik hati sang burung. Burung itu tiba-tiba terbang, hinggap di lengan anak itu, namun sedetik kemudian terbang menjauh menuju hutan.

Anak itu menghirup udara pagi yang segar sambil meluaskan  pandangan. Ia termenung sebentar memikirkan nasibnya. Dua hari yang lalu, ia masih tinggal di kota besar, sekarang  tinggal   di dekat hutan. Semuanya serba baru dan asing. Bahkan udara yang dihirup terasa berbeda. Terkadang perasaan terpencil terselip di pikirannya, tetapi ia mulai menerima  suasana yang lebih tenang dan tidak berisik. Apalagi ketika papa bilang, ada danau kecil di dekat tempat tinggalnya.

Anak itu   menghempaskan tubuhnya kembali ke tempat tidur. Diambilnya   sebuah buku dari lemari kecil di samping tempat tidur. Buku itu berisi kumpulan nasihat yang ditulis tangan  oleh mamanya, seperti yang sedang ia  baca kini:

kehidupan adalah suatu perjalanan yang harus ditempuh dengan keberanian dan kesabaran.

Nasihat-nasihat itu selalu menyemangatinya dan mengobati kerinduan hatinya. Tapi ia tak mau   memperlihatkan kerinduan, apalagi kesedihan pada papanya.  Anak laki-laki tidak boleh tenggelam dalam kesedihan apalagi menangis  ujar papa  dulu.  

Setengah jam kemudian terdengar suara papanya, "Jeshan, ayo bangun, jangan sampai terlambat di hari pertama sekolah." Jeshan menghela napas dan memejamkan matanya. Ia enggan pergi sekolah. Dengan berat hati, anak itu   menegakkan tubuhnya di atas kasur. Jeshan   yakin tidak lama lagi papa akan membuka pintu kamarnya untuk memastikan dirinya sudah bangun. Sesuai perkiraan, bunyi derit engsel pintu yang dibuka terdengar. Pintu pun terbuka. Sesosok pria berumur tiga puluhan   menampakkan tubuhnya di daun pintu.  Papa hanya mengangguk saat melihat Jeshan, tanpa  tersenyum. Papa jarang tersenyum semenjak mama meninggal, apalagi tertawa.

Secret of the Forbidden ForestTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon