25

16.4K 642 34
                                    

Pagi telah menjemput, matahari menjalankan tugasnya menggantikan bulan. Memancarkan sinar menerangi bumi, menerobos masuk pada sela-sela jendela rumah—membangunkan setiap penghuni.

"Bangun, udah pagi." Aileen membuka korden jendela, membuat Arvin menutup mata—silau.

"Tutup kordennya!"

Aileen menyingkap selimut yang menutupi wajah Arvin. "Udah siang, ayo bangun! Makan dulu, aku mau berangkat sekolah."

Arvin mengucek mata menyesuaikan pencahayaan. "Ngapain sekolah." Ketus Arvin, semenjak kejadian meminum obat dengan paksaan cowok itu mendiamkan Aileen—tak mau bicara.

"Kemarin aku udah bolos, jadi hari ini nggak mungkin bolos lagi." Aileen membantu mendudukkan Arvin—bersandar dikepala ranjang.

"Izin lah."

Aileen menghela nafas kasar. "Kalau aku izin, pasti akan ketinggalan materi."

Arvin memencet tombol power pada remote tv. "Gue aja kelas dua belas biasa aja tuh." Selain merubah sikap kepada Aileen, Arvin juga merubah gaya bicara menjadi lo-gue lagi.

"Yaudahlah, aaaa." Satu sendok nasi, siap masuk kedalam mulut Arvin. Namun sayang, cowok itu tidak membuka mulutnya, tidak membiarkan suapan masuk dalam mulutnya.

"Buka mulutnya." Aileen menubruk-nubruk bibir Arvin menggunakan sendok.

Merasa terusik ketenangannya, Arvin menyampar sendok tadi hingga jatuh mengenai rok sekolah Aileen.

Aileen membulatkan mulut lebar,  membuang nafas kasar. Ia berusaha tetap bersabar, meskipun rok sekolahnya sedikit kotor.

Mengingat waktu semakin berkurang, Aileen menyendok lagi nasi dalam mangkuk. "Makan dikit aja, ya. Aaaa"

"Gue nggak mau makan." Tatapan Arvin tidak mengarah pada lawan bicaranya, tetapi pada televisi yang menyala.

Tidak berputus asa, Aileen masih tetap membujuk suaminya. "Dikit aja, tiga suap."

Tangan kiri Arvin bergerak menyampar sendok lagi, tetapi tenaganya lebih kuat sampai-sampai ikut menyampar mangkuk—kebetulan diangkat berada dibawah sendok.

Prang!

"Awh." Aileen memekik kaget, disaat tiba-tiba ada pecahan beling menancap dipunggung kakinya.

"ASTAGFIRULLAH NON, AILEEN." Bi Odah terkejut saat mendengar suara pecahan bersumber dari kamar Arvin
Segera perempuan paruh baya itu mengecek secara langsung, dan benar saja beling berceceran dilantai.

Aileen memegang kaki perih. "Shhhttt."

Bi Odah mendekati Aileen lalu membantu untuk melepas beling kecil—menancap dikaki perempuan itu.

"Pelan-pelan, bi." Aileen meringis, mencengkram bahu bi Odah pelan.

"Satu lagi, non. Satu lagi."

Arvin—cowok itu tak mempedulikan keadaan sekitarnya, ia hanya cuek menatap layar televisi. Aileen terluka karena Arvin, tetapi Arvin tidak merasa bersalah sedikit pun.

"Gitu aja sakit." Ketus Arvin tidak menatap atau melirik kearah Aileen. "Tangan, kaki gue patah biasa aja."

What! Biasa aja?

Arvin tidak mengingat disaat cowok itu ngerengek kesakit. Tidak sadar,  kemarin hampir nangis gara-gara nyeri ditangan dan kakinya. Sampai-sampai harus dielus biar nggak sakit.

"Bentar, non. Bibi ambilkan kotak obat dulu." Bi Odah berjalan buru-buru mengambil kotak obat sengaja diletakkan dekat dapur.

Jika Arvin tak mempedulikan Aileen, kini perempuan itu bersikap acuh tak mempedulikan kembali suaminya. Ia memilih pergi meninggalkan Arvin tanpa meninggalkan sepatah kata apapun.

ARLEEN [END]Where stories live. Discover now