10

17.4K 746 15
                                    

Waktu menunjukkan pukul 18.30, setelah melakukan aktivitas mandi—Arvin memutuskan untuk melihat keadaan Aileen.

Sedari tadi orangtua nya menanyakan kabar menantu kesayangan mereka, papa nya selalu mengancam jika terjadi sesuatu pada Aileen. Mau tidak mau Arvin harus merawat sekaligus menjaga Aileen full malam ini, yaiyalah kalau nggak gitu bisa habis sama orangtuanya jika keadaan Aileen masih sama seperti saat ini.

Arvin keluar kamar, lalu menuruni tangga untuk menghampiri bi Odah didapur. “Bi, obat nya udah dapet?” Tanya Arvin mengamati punggung bi Odah sedang memasak.

Bi Odah berbalik badan. “Udah den, obat nya ada di atas kulkas.”

Tidak berkata apapun lagi, Arvin berjalan mengambil salep di atas kulkas seperti perkataan bi Odah. Setelah mendapat salep itu, Arvin membawa nya keatas, tepat nya kekamar Aileen.

Ceklek

Arvin membuka gagang pintu hati-hati—agar tidak mengganggu Aileen. Arvin pikir Aileen sedang tidur, tapi nyatanya saat ia memasuki kamar Aileen, Arvin mendapat sambutan tangisan. Siapa lagi jika bukan Aileen.

Arvin duduk disisi ranjang, ia mengusap lengan Aileen. Ada rasa bersalah dalam hati nya, tapi mana mungkin ia meminta maaf pada Aileen. Gengsi, mungkin itu yang menguasai diri Arvin.

Arvin menghela nafas panjang. “Lo  kenapa nangis? Sakit ya? Mana yang sakit?" Arvin membuka suara, baru pertama ini ia peduli dengan perempuan.

Clarissa, status nya jadi pacar nya saja jika sakit Arvin tidak pernah menjenguk atau sekedar menanyakan keadaan. Walaupun sekarang Aileen sudah jadi istri nya, tetapi Arvin masih menganggap orang lain baginya, tapi entah kenapa Arvin bisa sepeduli ini pada Aileen.

Aileen tidak menjawab pertanyaan Arvin, ia menangis—menahan luka cambukan Arvin terasa semakin perih.

“Mana yang sakit? Sini gue obatin luka lo.” Entah mendapat hidayah dari mana Arvin berkata lembut dengan Aileen.

Tidak mendapat respon dari Aileen, Arvin menarik lengan Aileen agar dapat terlentang. Begitu kaget nya saat ia mendengar tangisan Aileen semakin menjadi-jadi. “Sakit kak, hiks..hiks..hiks.”

Arvin mulai panik. “Yaudah, lo duduk aja ya. Biar punggung lo nggak ketindihan.” Tanpa mendapat persetujuan dari cewek berlesung itu, Arvin membantu membangunkan dengan dada Arvin menjadi sandaran. “Gue obatin sekarang ya, gue buka baju lo.”

Aileen membelakkan mata—kaget, ia memegang kancing baju kuat. “Nggak, aku ngggak mau.” Tolak Aileen menggelengkan kepala.

Arvin membuang nafas kasar. Arvin paling tidak suka dibantah, segala perintahnya harus dituruti tanpa adanya kata penolakan. “Mau lo apasih? Lo mau luka lo makin parah, terus gue dimarahin mama-papa karena nggak bisa urus lo.”

Seperti angin datang hanya untuk sesaat, sikap lembut itu hanya datang secepat kilat. Arvin tidak bisa lagi mengontrol emosinya.

Mendapat semprotan amarah dari cowok bermata elang, Aileen menundukkan kepala—mengis lagi. “Kakak itu laki-laki, aku malu.” Ucap Aileen polos.

Lagi-lagi Arvin mendengus kesal. “Lo tau kan, sekarang kita udah sah jadi suami-istri. Jadi buat apa lo malu.”

Suami? Kenapa baru sekarang anggap aku istri, kakak.”

Aileen menggeleng. “Aku mau diobatin bi Odah aja.” Tutur Aileen pelan, tapi masih dapat didengar jelas  Arvin.

“Yaudah kalau itu mau lo, urusin hidup lo sendiri! Udah dikasih hati malah minta yang lain.” Sikap baik nan lembut itu kini telah hilang bagai di telan bumi.

ARLEEN [END]Where stories live. Discover now