18

15.2K 641 8
                                    

Pagi-pagi, mendadak Devano harus datang kerumah sakit untuk mengantar baju buat mama-nya. Bukan mama-nya yang sakit, tetapi nenek Devano yang dirawat dirumah sakit. Karena ibu Devano anak tunggal, alias anak satu-satunya—yang artian masih memiliki kewajiban merawat orang tua. Sekarang hanya nenek yang Devano punya, kakek dan kedua orangtua papa-nya sudah nggak ada.

Pukul 06.00 pagi, Devano sudah tiba dirumah sakit. Padahal biasanya jam-jam seperti ini, Devano masih ngorok diatas tempat tidur. Tapi tidak apalah, sekali-kali bantu orang tua—tidak menyusahkan turus.

Awalnya Devano berencana berangkat agak siangan, sudah dipastikan ia tidak sendiri. Arvin dan Delan pasti terlambat juga, tidak mungkin mereka masuk sekolah lewat gerbang. Kalo tidak masuk manjat tembok, yah... Sedikit menyogok satpam. Itupun kalo tidak ada guru piket digerbang, kalo ada mau tidak mau ia memanjat tembok—menitipkan motor diwarung dekat sekolah.

“Dev, kamu nggak berangkat sekolah? Ini udah hampir jam setengah tujuh loh, nanti kamu terlambat lagi.” Tutur mama Devano, duduk disebelah anaknya di atas sofa.

“Masih pagi, ma.” Balas Devano sibuk memainkan game di hp-nya.

“Masih pagi gimana toh! Orang matahari udah kelihatan gitu!” Sahut nenek Devano dari atas ranjang rumah sakit.

Devano menghela nafas kasar. Nenek dan mama-nya memang tidak tau kelakuan anak sekolah dijaman sekarang. “Tapi kan—”

“Nggak ada tapi-tapian! Cepetan kamu berangkat, sekarang juga!” Mama Devano memotong perkataan anaknya. “Mama nggak mau ya, dapat surat panggilan dari sekolah.”

Devano berdecak kesal, ia memasukkan hp kedalam saku lalu menyambar tas-nya—sedikit kesal. “Yaudah, kalo gitu. Dev berangkat dulu, assalamualaikum.” Pamitnya mencium punggung tangan mamanya lalu beralih ke sang nenek.

“Waalaikumsalam, nggak usah ngebut naik motornya!” Pesan mama Devano, mengantarkan anaknya sampai didepan ruangan.

“Iya.” Balas Devano malas. Selalu saja mamanya berpesan seperti itu, mamanya kira Devano sudah pikun dan gampang lupa.

Devano berjalan melewati koridor rumah sakit. Tidak cepat, tetapi cowok itu melangkah begitu santai. Devano tipikal cowok santai, dan tidak suka terburu-buru.

Ketika Devano berbelok, tidak tau salahnya atau salah orang itu. Cewek bermasker penutup hidung nabrak dada Devano. Tidak sakit, tetapi tiba-tiba hatinya bergemuruh. Selang beberapa menit, cewek yang tingginya sebatas dada Devano—mendongak dan hanya terlihat matanya.

Seketika tubuh Devano menegang, mata itu sangat tidak asing lagi menurutnya. Tetapi siapa cewek itu? Yang pasti Devano pernah bertemu dengannya.

Dari gerak-geriknya, cewek bermasker penutup hidung itu terlihat kegelisahan. Sepertinya cewek itu mengenal Devano.

“Maaf, maaf.” Cewek bermasker hidung menunduk—menghindari tatapan mata Devano.

“Permisi, saya buru-buru.” Suara itu! Ya, suara itu sepertinya sangat tidak asing untuk pendengarannya. Tidak salah lagi, cewek itu sepertinya Aileen.

“Tunggu!” Cegah Devano.

Devano memegang lengan cewek bermasker hidung, lalu menatap lekat matanya. Meskipun hanya dengan tatapan mata, Devano bisa meyakinkan jika cewek itu ialah wanita pujaannya.

“Lo Aileen Hiesya, bukan?” Tidak lucu Devano langsung memanggil dia Aileen, setidaknya ia sedikit berbasa-basi—walaupun Devano yakin dia memang Aileen.

Sebelah alis Devano terangkat, ia melihat bola mata cewek itu bergerak kesana-kemari—seperti sedang menghindari tatapannya. Tidak tau mengapa, sebelah tangan Devano bergerak kearah belakang telinga cewek itu. Devano lepas tali masker yang mengait ditelinganya, hingga melihatkan wajah dibalik masker.

ARLEEN [END]Where stories live. Discover now