Prolog - The Night

1.6K 108 19
                                    

"Perpisahan ini ... seperti retakan di penjuru Bumi. Mampukah masa mengembalikan kita?"

 Mampukah masa mengembalikan kita?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

—SR—

Hening malam pecah oleh teriakan panik banyak orang. Di depan sana, si jago merah berkobar dengan gagah, melahap apa pun di sekitarnya. Lidah-lidah api menyambar, memanaskan udara malam yang seharusnya sejuk. Para lelaki dengan sigap membawa air dari rumah-rumah warga sekitar untuk disiram ke bangunan yang sedang terbakar itu. Sementara para wanita dan anak-anak berpakaian kumal itu histeris melihat tempat tinggal mereka runtuh keping demi keping.

Di antara mereka yang bergerak sigap atau yang sekadar menggumam doa, tujuh bocah perempuan menyelinapkan langkah di dalam kepanikan. Salah satu di antara mereka memegang korek api yang tinggal sebatang isinya, yang lain sedang memegang bahunya agar ia terus berjalan, menerobos pekat malam yang tercemar api yang ia ciptakan.

"KALIAN!" Suara tinggi seorang wanita membuat mereka menoleh. Ibu panti yang kejam tak berperasaan mengacungkan telunjuk, lantas mengajak warga mengejar tujuh bocah itu. Mereka segera berlari, melewati gang sempit dan pesing agar dapat meloloskan diri. Sayangnya, bocah yang memegang korek api itu tersungkur, seakan tak mampu melanjutkan langkah lagi.

"Cepet!" seru kakak angkatnya, memegang bahu mungil itu dan membantu berdiri. Saudaranya yang lain menyambut, memapah agar ia bisa kembali berlari bersama. Sayang, justru sang kakak yang tertangkap oleh ibu panti.

"Lari!" teriaknya sekuat tenaga. "Lari, lemot! Lari!" Gadis berusia sekitar sebelas tahun itu meronta sekuat tenaga, menghalau wanita yang ingin mengejar adik-adiknya. Tenaganya jelas kalah, tetapi ia tidak akan menyerah. Biarlah tangan dan kakinya patah, setidaknya dia masih bisa menggigit untuk menghalangi.

"Kak Nia ...," lirih salah seorang dari mereka. Enggan rasanya meninggalkan saudara yang berniat menolong, membuat mereka terpaku dalam kebingungan. Kemudian, seseorang menyeru, memberi perintah agar mereka kembali berlari dengan janji akan bertemu dengan kakaknya lagi nanti. Tak punya pilihan, keenam gadis kecil itu berlari tak tentu arah. Malam seakan membutakan, mengaburkan arah tujuan.

Sarah, pelari terbaik di antara mereka melesat membelah malam. Takut jelas menghinggapi, mengingat apa yang telah mereka lakukan. Namun, terlalu terlambat untuk menyesal. Apa yang bisa dilakukannya hanyalah pergi sejauh mungkin, sesuai rencana mereka. Tak tahu apa yang akan dilakukan setelah ini, mereka hanya peduli untuk pergi dari tempat penyiksaan berkedok panti asuhan. Sudah cukup rasa sabar setelah kemarin sore, adik kecil mereka disiksa habis-habisan oleh monster berwujud ibu panti. Akhirnya, ide gila pun muncul. Mereka berniat membumihanguskan tempat terkutuk itu, dan terlaksana malam ini.

"Itu tamannya!" seru gadis kecil itu sambil menunjuk taman kecil, tempat yang mereka janjikan untuk bertemu.

"Kak Mikha, itu ta—" Ucapan itu menggantung di udara, ketika menoleh dan tak mendapati siapa pun.

Ia baru ingat, tadi Mikha memerintahkan agar mereka pergi duluan karena dia akan mencari Kania. Kalau begitu, jelas Mikha dan Kania tidak ada di dekatnya.

"Joyce? Vanila? Dian?" Sambil mengabsen nama saudaranya, gadis itu berputar di tempat. Matanya menelisik setiap sudut yang gelap dan hampa. Tak ada seorang pun di sana.

"Joyce! Jangan sembunyi! Itu tamannya sudah dekat! Vanila! Dian! Kalian di mana?"

Titik-titik jernih mulai berguguran di wajah yang penuh ketakutan, menyuarakan rintih yang tak mampu lagi diucapkan.

"Vanila! Ayo, kita tunggu Kak Nia, Kak Mikha, dan Kania di sana!"

Matanya masih mencari keberadaan para saudari, sayang, tak ada tanda-tanda kehadiran mereka di sana.

"Dian! Joyce! Vanila! Kalian di mana?"

Akhirnya, isakan pun lolos dari bibir mungilnya. Takut kian merambat, seiring malam yang kian pekat. Gadis kecil itu kembali menatap taman, menyingkirkan jejak air di pipi tirusnya.

"Nggak boleh takut, nggak boleh nangis. Sarah tunggu di sana, nanti pasti yang lain datang. Kita sama-sama lagi. Sarah kuat, Sarah berani," gumamnya.

Hanya ada pikiran tentang hari-hari yang akan dijalani bersama para saudari, saat ia menyeberang jalan menuju taman. Tak menengok kanan-kiri, padahal dari arah lain sebuah mobil hitam sedang melesat membelah jalanan sepi. Terlambat untuk mundur, bahkan melompat pun tak bisa. Secepat cahaya menembus retina, saat itu juga Sarah merasakan hantaman keras di tubuh mungilnya hingga terpelanting cukup jauh. Masih bisa ia rasa ketika kepalanya berdentam hebat, seiring bau amis mulai menguar. Sakit itu pun menjalar, membekukan seluruh kesadaran. Hingga mimpi untuk bertemu keenam saudari buyar, berubah menjadi titik-titik cahaya yang kian lama kian memudar.

—SR—

TBC


Ups, kepingan terakhir Kolaborasi7Benua akhirnya menetas! Kolaborasi yang menawarkan tujuh kisah dari tujuh wajah dan membawa tujuh warna ini, dijamin punya konsep yang berbeda dari yang lain.

Kalau kalian suka dan penasaran sama kisah ini, jangan lupa vote, komen, dan share ke teman-teman kalian, ya.

Ikuti juga kisah lain dari Kolaborasi7Benua di akun:

1. Vanila: Kavii_98
2. Kanolla: Fifi_Alifya
3. Dian: azdiyare_ahsan708
4. Joyce: IndahCatYa
5. Tania: AnnyoosAn
6. Mikha: rodeoexol
7. Sarah: @SilviaRodiana

Thank you juga buat Talithaa56 dan MeylindaRatna yang setia bantu kami di Kolaborasi7Benua ini.

Love,
SR

SarahWhere stories live. Discover now