33

130 9 3
                                    

Angin lebat menerbangkan sisa-sisa gerimis, meninggalkan noda  basah pada mantel hitam serta beberapa menggenang di sudut jalan.

Siluet bermantel hitam nampak tengah merenung. Mengaduk kopi latte-nya yang telah mendingin sekitar satu jam lalu tanpa di sentuh. Pusaran kecil pada cairan berwarna coklat terlihat lebih menarik ketimbang lalu lalang pejalan kaki yang sibuk dengan kegiatan sore mereka  masing-masing.

Dia itu menghembuskan nafas lelah untuk yang entah keberapa kali hari ini. Dua hari lebih empat jam tiga belas menit dia lalui untuk mencari seseorang di luasnya Lindau di tengah awal musim dingin.

Tanpa penjagaan atau semacamnya yang biasa ia lakukan.

Ia hanya ingin mencarinya sendiri. Dia pula yang akan pertama kali menemukanya. Meski seluruh Eropa telah ia pijaki hanya demi mencari seseorang itu.

Belum.

Dia masih belum menyerah bahkan jika harus mencarinya di ujung dunia sekalipun.

Jika dilihat, ia layaknya seorang pujangga yang tersesat di tengah rasa yang entah apa itu namanya. Dia bagaikan sosok orang gila yang terlampau bersedih hanya mencari seseorang yang pernah dia kecewakan hingga seseorang itu pergi.

"Aku merindukanmu." Gumamnya lirih.

Kini tubuh tegapnya beranjak, mengambil langkah lebar kembali menelusuri jalan setapak yang nampak masih basah akibat gerimis. Dia melangkah lagi, tanpa arah dan tujuan. Yang ia lakukan hanya segera menemukan seseorang itu. Mate-nya, milik-nya.

"Alpha, anda harus segera kembali. Masih banyak pertemuan penting antar pack yang membicarakan mengenai beberapa serangan di daerah perbatasan."

Sosok itu tersenyum kecut. Kembali melangkah saat Beta dari packnya memindlink menyuruh dia agar cepat kembali.

Ya, dia memang harus segera kembali. Meski di packhouse pun pikiranya akan tetap melayang pada gadis cantiknya. Pada Mate-nya.

"Apa kau tak merindukanku,hm?"

C O N T R O L L E R S

"Kakak berubah?" Pertanyaan bernada polos itu meluncur begitu syahdunya dari mulut Adeline. Gadis berambut blonde menatap pada kakak tertuanya dari ujung rambut hingga ujung kaki bak baru saja melihat alien bermata empat turun ke bumi.

"Aku tahu aku tampan. Tapi jangan menatapku seperti itu. Kau membuatku tak nyaman."

"Astaga! Kau beneran kakakku?" Adeline terteriak heboh. Tubuh mungilnya berputar mengelilingi siluet tinggi milik kakak lelakinya dengan mata menyipit. "Dari mana kau mendapatkan gaya rambut seperti itu? Bajumu juga? Dan itu?" Tunjuknya pada bibir Samuel yang terbalut liptint tipis.

"Bukan urusanmu." Jawab Samuel datar sedatar-datarnya.

"Wahh~ kalian sudah datang." Pria berkepala plontos  mulai bersuara. Ia hentikan langkah kaki lebarnya tepat di samping seorang gadis kecil yang mengekorinya dari belakang.

"Anda sedikit berbeda,Alpha?" Ujar Icarus mengamati Samuel seperti yang di lakukan Adeline tadi.

"Lanjutkan saja."

"Ekhem. Baiklah~ seperti yang kalian ketahui, kalian berdiri disini untuk menguji emosi perasaan Emelly. Jadi, tak perlu berbasa-basi kita langsung mulai saja."

Emelly menyumbulkan kepalanya di balik punggung Icarus. Rambut panjang gadis itu yang di kepang nampak jatuh di sisi bahu. Tersenyum manis, Emelly berdiri sejajar dengan Icarus.

Water Fire ControllersWhere stories live. Discover now