23

154 11 2
                                    

Tatapanya dingin lurus pada jam pasir merah jambu yang kian turun tersisa separuh di atasnya. Tujuh belas kali ia putar balik benda itu berharap pasir yang terbalik mau berbelas kasih turut membalikan waktu. Tetapi waktu adalah waktu. Sehebat apapun kekuatan kita, sesungguh apapun kita meminta, waktu tak akan mau menyalahi kodratnya untuk tetap berjalan.

Bagai matahari dan bulan. Terpisah oleh jarak dan tentunya waktu. Mereka ingin bersama menjadi dua benda bulat saling berdampingan namun Tuhan tak mau turun tangan dalam hal yang akan mengakibatkan bencana jika hal itu terjadi. Mentari di terang sedangkan bulan hanya jadi bayangan.

Roda kereta kuda berderit di luar sana. Semarak dengan langkah kaki para prajurit yang menyambut kedatangan orang yang di hormati. Namun sosok itu tak menghiraukan. Bukanya turut menyambut, ia justru semakin terpekur menatap selembar foto usang di mana tiga anak kecil dengan lelaki yang baru menginjak remaja tengah merangkul dua sosok gadis kecil di sana.

Salah satunya adalah gadis yang tinggal dalam satu rahim bersamanya,  dan satunya___ gadis yang amat sangat tengah ia rindukan. Tengah ia khawatirkan sampai ia lupa ia masih mampu bernafas.

Satu-satunya gadis yang berhasil membuat dirinya merasa di gerogoti rasa bersalah hingga kematian pun enggan menjemput. Lebih dari dua minggu ia masih terus mencari, masih terus menunggu akankah si pemberi bunga di hatinya akan kembali?

Akankah ia  masih mau menerima sang pemberi luka ini? Menerima meski rasa benci menggunung dalam hati sang gadis? Meski nanti yang di dapatinya hanya rasa benci pun ia tak masalah. Yang terpenting adalah gadisnya kembali. Cintanya kembali. Belahan jiwanya kembali.

Hanya itu.

Namun permintaanya terlalu berat sampai Tuhan saja enggan mendengar kemaunanya.

Dia memang bersalah. Pantas mendapatkan hukuman.

Kesepian.

Hukuman apa lagi yang lebih pedih dari ini?

Setiap saat dirinya hanya di rambati oleh rasa bersalah bertubrukan dengan rindu yang menggebu. Meringkuk di atas dipan yang kasurnya sudah keras milik si gadis. Kamar sempit yang pengap hanya mendapat penerangan dari celah jendela kecil tanpa penutup. Terkadang angin berhembus begitu dingin dari sana.

Merajai kulit tanpa selimut setiap malam. Merasakan bagaimana kejamnya dia membiarkan gadisnya__miliknya__ harus tidur seperti itu setiap malam di sepanjang hidupnya.

Tanpa belas kasih, gadisnya selalu mendapat cambuk, hingga rontoknya rambut akibat di jambak. Ia tak tau lagi bagaimana ia menyiksa gadisnya sendiri. Bahkan para pelayan pun turut memberi gadisnya kekerasa fisik sampai cemoohan dan hinaan terus berdengung di telingga sang gadis tanpa bisa melawan.

Mata pria itu yang menghitam akibat kurang tidur menatap pada tangkai buket bunga yang telah mengering. Kelopaknya gugur, ia biarkan berjatuhan di atas nakas reot hingga kering. Terus ia pandangi tanpa bosan benda pemberian si gadis.

Jika saja waktu bisa di putar, maka ia akan menerima bunga itu dengan senyum merekah pada masa itu. Dia akan memeluk si gadis disana, mengumumkan pada dunia bahwa gadis kecil itu adalah miliknya. Andai saja kesempatan itu ada__ ingin sekali ia yang merasakan cambukan kala itu, ia yang akan memakan makanan basi sisa para penghuni pack.

Ia yang akan rela di siram air panas di punggungnya, dan ia yang akan rela di seret kepalanya oleh beberapa omega. Namun kesempatan tak pernah datang kepadanya__ hingga tersisa penyesalan tak berarti kala ia menyadari gadisnya benar-benar telah pergi.

Tok tok tok

Pintu kayu usang perlahan di ketuk lirih oleh seseorang di luar sana sebelum sosok lain itu masuk. Ia berjalan mendekat ke arah ranjang dimana duduk seorang pria yang tengah menatap pada selembar foto usang bergantian pada bunga kering di nakas tua.

Water Fire ControllersWhere stories live. Discover now