15 - High Hopes (2)

3.7K 547 15
                                    

Sebelum membaca, jangan lupa untuk pencet tanda bintang di sudut kiri bawah layar ponselmu dan selalu beri dukungan untuk Leobra! Ayaflu!

=== Leobra===

Bara mengembuskan napas pelan, membuat asap putih itu terbebas dan melambung pergi. Wajah kusut lelaki itu tampak memudar, ditutup oleh pekatnya malam dan lampu jalan yang mulai remang.

Getaran ponsel yang terdengar lemah terus menyapa telinga Bara sejak tadi. Namun, lelaki itu lebih memilih untuk tidak mengacuhkannya.

Usai kejadian di rumah tadi, Bara lebih memilih untuk pergi dan menenangkan diri. Kadang Bara tak habis pikir, mengapa semua hal tentang keluarganya terasa rumit dan memalukan di saat yang bersamaan. Entah karena hidup kakaknya yang terlalu bebas hingga terjebak pada arah yang salah atau orang tuanya yang begitu lemah dan tak tega hingga melindungi sesuatu yang Bara rasa tidak diperlukan.

Rasanya masih lekat di otak Bara bagaimana ekspresi sang ayah saat lelaki itu turun dan melihat kedua putranya berkelahi. Bahkan langkah lelaki itu masih terasa limbung karena belum pulih sepenuhnya.

Bara kira, ayahnya hanya belum yakin untuk menjalankan operasi saat itu. Namun kejadian hari ini membuat Bara sadar, bahwa kesehatan pun terasa tidak penting saat harus dibandingkan dengan anak sendiri. Walaupun, Bara tidak pernah merasakan menjadi anak yang mendapat semua itu.

"Lo lupa, lo kan yang bikin semua ini terjadi?"

Bara tertawa, hatinya merasa pahit. Kekehannya semakin jelas saat ia sadar kalau semua memang berasal dari kebodohannya. Kebodohan seorang anak dungu yang tak pernah berpikir panjang.

"Bar, ban mobil udah diganti?" tanya Dimas seraya berjalan menghampiri Bara yang sedang duduk di meja belajar.

Ingatan itu kembali muncul dalam memori Bara. "Enggak apa-apa, kok, itu bannya, masih oke." Bara masih ingat bagaimana ia menjawab sang kakak, apalagi saat itu ia masih sibuk-sibuknya dengan ujian akhir sekolah.

"Oke dari mana? Orang kemaren gue cek udah tipis," gerutu lelaki itu.

Bara menghela napas jengkel. Ia menutup buku matematika dan menatap wajah kakaknya itu. "Masih oke itu. Gue tadi balik sekolah ngebut-ngebut di jalan becek aja nggak apa-apa. Lo aja yang baru belajar, jadinya lebay. Lagian duit gue juga ngepas kalo mau ganti ban. Kecuali kalo lo ngasih gue duit."

Bara kala itu tidak pernah berpikir kalau hal itu akan membuat dirinya semakin asing, bahkan di rumahnya sendiri. Sampai akhirnya ia menemukan sang ayah datang dengan penuh amarah, dan ibunya berlinang air mata. Sementara Dimas, sudah dilarikan ke rumah sakit karena kecelakaan.

Teriakan amarah itu tidak berhenti, membuat Bara yang terus merutuki dirinya sendiri. Nada kekecewaan terasa mengambang di setiap sudut kamar. Semua terhenti saat Ibunya berhasil menarik lelaki paruh baya itu dan membawanya pergi ke rumah sakit. Meninggalkan Bara yang masih terdiam menatap dinding kamarnya.

Ruang persegi itu makin lama terasa makin kecil, seiring dengan lantai yang terasa kian dingin. Bara mencengkeram lutut kuat-kuat, menekan semua bayangan buruk yang ada di otaknya. Bara sama sekali tak pernah berpikir kalau semua akan menjadi seperti ini.

Pada akhirnya, tetap Bara yang menjadi pokok masalah. Pada akhirnya, tetap Bara yang ditatap penuh kekecewaan. Pada akhirnya, Bara-lah yang membuat semua harapan yang telah tersusun sedemikian rupa di pundak Dimas, kembali berjatuhan ke tanah.

Bara tertawa, menertawakan dirinya dan ingatan bodoh yang tiba-tiba datang bahkan saat Bara tidak meminta.

***

Leobra ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang