1. Kenyataan

2.2K 134 54
                                    

Jika kenyataan sepedih ini, lebih baik aku menetap dalam mimpi.

-Zilva 🐽

♫~♥~♫

“Bangun, Vania!!!” teriak sang Mama menggema hingga ke penjuru rumah mereka.

Gadis yang wajahnya berhasil disiram segayung air oleh sang Mama, memaksa tubuh besarnya untuk bangun dari singgasananya. “Astaga, Mama kok tega bangunin anaknya yang paling cantik ini dari mimpi, sih? Tadi malem status jomlo aku hilang, dan sekarang kenyataan pahit kalau aku jomlo kembali lagi.”

Laila, sang mama, melihat anaknya dengan tatapan aneh dan anak gadisnya hanya bisa mengerucutkan bibirnya, lalu berdiri dengan kesal meninggalkannya.

Setelah berkutat dengan peralatan mandi, seragam dan juga sarapan pagi, gadis itu berangkat ke sekolah dengan mengendarai motornya. Sesekali mulutnya bersenandung kecil, menandakan mood-nya sedang berada di puncak senang.

Tak lama tiba di sekolah, ia kemudian membuka tas punggung miliknya dan mengambil jepit rambut yang biasa ia gunakan untuk membungkus rapi rambut sebahunya.

“Gitu dong, hair net-nya dipakai. Tumben langsung dipakai tanpa ditegur dulu?” ucap seorang guru wanita yang sedang berdiri di dekat gerbang.

“Lagi bahagia, nih, Bu. Kalau Bu Ella negur saya di pagi yang cerah ini, mood saya bisa hancur berantakan. Apalagi omelan Bu Ella gak cukup semenit.” Sang guru hanya bisa tersenyum mendengarnya. “Sampai ketemu di jam ke-3 ya bu.”

“Zilva!” panggil seorang gadis cantik yang merangkul pundaknya dengan kaki berjinjit karena perbedaan ukuran tubuh mereka.

“Ruth, tumben gak telat?” Zilva tertawa kecil.

Gadis bernama Ruth itu mendengus kesal. “Si Felix kampret itu, pagi-pagi buta udah nyembur aku pakai air lewat mulutnya. Kebayang gak gimana jijiknya air yang udah nyampur sama iler? Duh, masih merinding aku.”

Zilva hanya tertawa mendengar sahabatnya yang masih pagi sudah menggerutu tentang teman sejak kecilnya. Sahabatnya itu memiliki teman masa kecil bernama Felix dan mereka tinggal di rumah yang berdekatan.

Jarak rumah antara Zilva dan Ruth sangatlah jauh. Karena alasan itu lah, Zilva yang notabene “Ratu Malas” tak sanggup jika harus pergi ke rumah Ruth.

“Omong-omong, dari tadi kamu senyam-senyum udah kek orang gila, tau, gak?” Ruth menyentuh dahi sahabatnya itu―memastikan Zilva tidak demam.

“Ish, gak usah pegang-pegang,” desis Zilva dan melepaskan tangan Ruth dari dahinya. “Kamu tahu? Tadi malem aku mimpi luar biasa, dimana cewek babi kek aku bisa pacaran sama―yang aku yakin―seganteng pangeran.”

“Ah, pangeran kodok, mungkin?” ucap Ruth tanpa niat.

Mereka memasuki ruang kelas dan mendudukkan pantatnya di bangku masing-masing.

“Ish, aku serius Ruth, percaya deh sama aku. Tapi sayangnya aku lupa wajah tampannya.” Zilva meringis.

Ruth manggut-manggut memahami situasi sahabatnya yang baru pertama kali pacaran, namun sayangnya hanya dalam mimpi.

“Zilva, sungguh malang nasibmu.” Ruth memasang wajah sedih palsunya dan menepuk pelan punggung sahabatnya agar tetap tegar.

“Kau kira apel yang Malang? Malang mah jauh disana. Kenapa juga wajah sialanmu itu?” Zilva tak habis pikir dengan sahabatnya sendiri.

Senyum Ruth menghina. “Aku kasihan sama kamu, iya bener punya pacar. Tapi cuma dalam mimpi, hahaha.”

Bel masuk tak membuat Zilva mengurungkan niatnya untuk mencubit habis-habisan sahabatnya. Ruth mengaduh kesakitan namun Zilva masih setia menyiksa temannya sendiri.

Boyfriend In My DreamWhere stories live. Discover now