43. PDKT

90 8 2
                                    

Dua minggu telah berlalu sejak Zilva dan sahabat-sahabatnya pergi berlibur ke Jogja. Ia memaksa dirinya untuk melupakan sejenak tentang hubungannya dengan Gabriel ketika ia bekerja atau melakukan suatu kegiatan.

Ia juga memaksa otaknya untuk memikirkan solusi, bukan merenungkan tanpa melakukan apa pun. Satu-satunya solusi yang ia pikirkan hanya menunggu hingga Gabriel yang menghubunginya.

"Ah, goblok banget! Menunggu itu bukan solusi!" teriaknya dalam hati. "Aku harus inisiatif buat deketin dia lagi biar gak pergi ke lain hati."

Tangannya merogoh bawah bantal untuk mencari ponsel. Jari lentiknya menari untuk mencari nama sang kekasih. Ia ambil ear phone dan ia pasang sedemikian rupa agar suara Gabriel terdengar jelas.

"Gabriel, kamu lagi apa? Makan dengan teratur, kan? Oh iya, waktu aku di pantai Jogja aku beli dua botol minum lucu, kukirim ke tempatmu ya."

"Zilva, kamu telpon cuma mau bilang itu aja?"

"Aku cuma lagi kangen sama my prince aja, hehe." Ia tertawa getir. "Aku juga lagi PDKT nih sama kamu. Jangan cuek-cuek dong."

Gabriel tertawa kecil. "Oh gitu? Oke, aku ladenin kamu. Aku penasaran, cara apa yang bakal dilakuin sama seorang Zilva buat deketin aku."

"Katanya sih, kalau ada seseorang yang perhatian, nanti lama-lama nyaman akhirnya jadian, hahaha."

"Coba. Aku pengen tahu cara perhatian kamu yang mungkin bisa bikin nyaman."

Zilva tersenyum licik. Ia merasa sedang di uji. Bukannya takut, ia malah merasa senang karena setidaknya laki-laki itu memberinya kesempatan.

"Oho, awas ya nanti jadi tambah bucin sama aku," ucapnya dengan tawa di akhir.

Gabriel tertawa kecil. "Kapan kamu mulai?"

"Sayang, aku mau tanya dulu. Jika aku pergi jauh ke tempat yang tidak bisa kamu lihat dan nggak bisa didatangi, apa yang akan kamu lakukan?"

"Berapa lama?" tanya Gabriel.

"Gak bisa dipastiin. Bisa setahun, lima tahun atau mungkin bisa selamanya."

"Wah, serem juga, ya. Aku pasti ngerasa kehilangan banget, Zilva, karena kamu pernah jadi bagian dalam hidupku."

"Oh, gitu ya." Ia mengangguk-anggukkan kepalanya paham. "Itu yang aku rasain kalau aku kehilangan kamu Gabriel. Bedanya kita hanya terpisah jarak dan itu pun cuma empat tahun hampir lima tahun. Bagaimana jika aku pergi dibawa oleh maut dan tidak bisa kembali? Bukankah itu lebih menyesakkan?"

Gabriel tersentak. "Zilva, jangan bawa-bawa maut."

"Huahaha, bercanda, Sayang." Gadis cantik itu terbahak mendengar suara kesal dari Gabriel. "Kamu jangan lupa makan, ya. Ingat, tiga kali sehari! Nanti aku kirim botol minumnya ke kamu, gak tahu deh berapa hari sampai sana. Pake itu setiap mau minum, ya, biar keinget aku terus. Jangan begadang, istirahat yang cukup!"

"Udah itu aja?"

"Ish, mau kemana sih buru-buru? Kalau aku gak agresif, kamu pasti pergi."

"Pergi kemana sih?"

Zilva mengerucutkan bibirnya. "Pergi ke lain hati!"

Gabriel menyemburkan tawa. Laki-laki itu mendudukkan dirinya yang semula tidur di ranjang.

Gadis berpipi tembam itu berteriak, "Ish, aku serius Gabrielo!" Zilva memutar otak untuk mencari topik seru yang bisa ia bahas dengan Gabriel. Dari awal ia berniat untuk tidak menyinggung laki-laki itu, tapi apa daya mulut tak bisa dijaga.

Zilva menggigit bibir bawahnya gemas. Ia bergegas ke dapur untuk mengambil segelas air dan meminumnya dengan rakus. Lalu ia memilih untuk ke teras untuk melanjutkan teleponnya dengan Gabriel.

"Pergi ke lain hati, ya? Kalau beneran terjadi, gimana dong?"

Zilva tersentak. "HAH?!" teriaknya hingga membuat Laila datang menghampiri.

"Apaan sih, Vania?" tanya Laila.

Zilva nyengir. "Lagi telpon Gabriel, Ma, hehe."

"Iya. Jika itu beneran terjadi, apa yang bakal kamu lakuin? Menangis dan lepasin?"

Gadis itu mengernyit. Tak paham dengan topik yang dibahas tiba-tiba oleh Gabriel. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Topikmu terlalu berat, kasihan otakku terbebani untuk bahas hal kek gini," ucap Zilva enggan.

Gabriel terdiam. Ia terkadang kecewa dengan sifat Zilva yang selalu melarikan diri. Saat ia baru saja membuka mulut, ucapannya langsung dipotong oleh Zilva.

"Kalau kamu sama yang lain, ya? Hm ... hal pertama yang kulakuin pasti nangis, sih. Terus, gak lama otakku pasti berteriak, 'kamu sama Gabriel udah delapan tahun pacaran, udah dilamar pula, ya kali kamu gak rebut dia lagi? Lagipula secantik apa sih cewek itu? Semangat! Kamu pasti bisa nikung dia lagi!' begitu, Gabriel."

Gabriel diam. Ia bingung dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Zilva. Laki-laki itu mengernyitkan kedua alisnya.

Zilva menghela napas berat. "Kamu pasti gak paham apa yang kumaksud, ya? Jadi gini maksud aku, secantik apapun cewekmu yang baru, aku akan berusaha untuk merebutmu kembali, Gabriel. Aku bukan yang dulu lagi. Aku cantik, dan aku cukup percaya diri dengan satu hal itu. Aku bakal pakai cara apapun asal tidak melewati batas. Camkan itu."

Gabriel tertawa. Ia benar-benar tak menduga jawaban itu. Ia mengira Zilva akan merendahkan diri dan melepaskan hubungan mereka.

"Aku gak peduli bahkan cewek itu cantik dan tajir-nya kebangetan, aku bakal rebut kamu lagi. Aku gak peduli. Enak aja, udah jalan delapan tahun malah datang dan ngehapus rasamu ke aku dengan gampangnya."

Gabriel terbahak lama. Ia benar-benar kesulitan menghentikan tawanya. Ia terkejut dengan jawaban Zilva yang penuh percaya diri itu. Ia mematikan teleponnya secara sepihak dengan tetap tertawa.

Di satu sisi, Zilva yang sudah mengatakan kalimat itu, wajahnya sekejap menjadi murung. "Astaga, kesempatan itu kubuang dengan sia-sia. Aku ngomong apa sih ke Gabriel. Gak jelas banget. Hah ... dia pasti ilfeel sama aku."

🍃🍃🍃

Bersambung :)
Vote dan komen? ❤

Boyfriend In My DreamWhere stories live. Discover now