50. Kakak yang Tangguh (2)

94 13 0
                                    

"Setelah setahun, tiba-tiba pemilik resto itu manggil aku untuk ke ruangannya. Kamu ingat Papa si culun itu kan?"

Zilva mengangguk.

"Papa si culun itu ternyata yang punya resto. Sebelumnya aku sudah kenal beliau lewat papaku karena beliau salah satu orang yang akrab dengan papa. Tapi dari awal kerja aku gak tahu kalau Papa si culun yang punya resto itu."

"Eh aku kira hubungan Kak Levi sama Om Ganteng itu buruk. Ternyata Om itu berjasa banget ya di kehidupan Kak Levi."

"Hm. Terus Papa si culun―astaga ribet banget, namanya Joseph, aku biasa panggil beliau Om Jo. Terus Om Jo tanya kenapa aku kerja di sana dan beliau kaget waktu aku cerita semuanya."

Zilva mengangguk setuju. "Pasti kaget banget sih. Aku juga kaget banget sama Papa Kak Levi yang tega ninggalin kalian sendirian tanpa orang dewasa."

"Lalu beliau membantuku karena beliau sendiri juga pernah susah dan dibantu papa. Akhirnya Om Jo minta saran toko apa yang cocok buat aku sebagai awal bisnis."

"Wah Om Jo baik banget. Salut sama beliau."

Levi mengangguk setuju. "Terus aku saranin toko alat tulis karena gak berisiko seperti makanan yang bisa basi."

Zilva tiba-tiba menangis terharu. "Hiks, hiks ... Kak Levi emang cerdas banget."

"Alay pakai acara nangis segala." Levi tertawa kecil melihat tingkah gadis itu. "Om Jo suruh aku untuk mengatur semuanya. Mulai dari bangunan, karyawan, dan apa saja yang dijual di toko. Kita sepakat bagi hasilnya: enam puluh lima persen untuk aku, sisanya Om Jo. Karena aku gak mau habisin uang modal dengan gaji karyawan, akhirnya aku cuma mempekerjakan satu orang saja untuk jaga pagi, untuk sore sampai malam aku sendiri yang jaga. Untuk hari libur full aku sendiri."

"Astaga, terus gimana sama sekolah Kak Levi?"

"Aku tetep sekolah. Ya ... walau sering banget ketahuan tidur waktu pelajaran. Tapi untungnya aku bisa ngejar dan lulus SMA."

Zilva sangat kagum dengan sosok Levi yang tangguh. Ia bangga bisa kenal dengan Levi hingga bisa mendengar kisah hidupnya.

"Walau terkadang ada sedikit kerugian tapi untung bisa teratasi. Setelah dua tahun toko alat tulis itu akhirnya berkembang. Di situ, karena aku merasa toko ATK itu sudah stabil, aku berencana bangun SMA untuk Gabriel."

"SMA Zionathan? Eh iya bener juga, kalau gak salah angkatanku―maksudku angkatan Gabriel itu angkatan pertama, 'kan? Tapi keren sih, itu SMA masih baru tapi udah berhasil menarik minat anak-anak cerdas dan kaya."

"Enggak, di situ adalah titik terendah dalam hidupku. Aku bahkan sempat mau nyerah bangun SMA itu." Raut Levi menjadi sedih ketika mengucapkan itu.

"Kenapa?"

"Karena gak gampang bangun SMA dalam kurun waktu hanya dua tahun. Aku juga harus cari guru kompeten dan lainnya. Fasilitas di dalamnya juga aku harus pikirkan baik-baik agar bisa dapat akreditasi A."

"Astaga, Kak Levi bangun itu SMA cuma dalam waktu dua tahun?!" pekik Zilva kaget. "Aku gak bisa berhenti bilang Kak Levi keren."

"Sebenarnya bisa lebih cepat. Cuma modal kami kurang. Jadi kami bangunnya perlahan. Om Jo benar-benar sangat membantu. Beliau membantuku untuk mencari guru-guru yang kompeten dan mengiklankan sekolah itu agar banyak yang minat di SMA Zionathan. Untuk anak berbakat namun tak mampu membayar, kami beri bantuan berupa beasiswa.Aku bersyukur banget Om Jo mau bantu aku. Beliau bahkan berani ambil risiko memberikanku modal untuk sekolah itu hingga sistem keuangannya sendiri menjadi berantakan."

"Astaga," pekik Zilva mendengar itu.

"Lalu akhirnya sekolah itu selesai dan Gabriel bisa memasuki SMA Zionathan sebagai angkatan pertama."

"Tapi untungnya semua perjuangan kalian berbuah manis. SMA Zionathan dapat respons baik di masyarakat. Kak Levi dan Om Jo sukses." Zilva merasa senang mendengar cerita hidup Levi yang dulunya penuh perjuangan.

Zilva menepuk tangan heboh. Air mata haru terus mengalir di pipinya. Beberapa detik kemudian ia bertanya, "Eh tapi, gimana kabar rumah sakit air mata?"

"Setelah setahun lebih aku bangun SMA, Om Jo nawarin aku buat ambil alih rumah sakit milik teman beliau yang hampir bangkrut itu. Aku beli lah rumah sakit itu. Kuperbaiki dan aku ganti namanya."

"Tapi kenapa namanya harus air mata?"

"Karena saat kita mengeluarkan air mata, tidak hanya disaat sedih. Kayak kamu sekarang ini yang nangis denger ceritaku, padahal ini bukan cerita sedih."

"Ya ... aku nangis karena terharu dengar cerita perjuangan Kak Levi yang hebat."

"Karena itu aku pakai nama 'air mata'. Terkadang terlalu bahagia pun bisa meneteskan air mata. Jadi kata 'air mata' gak melulu tentang kesedihan."

"Huwaaa .... " Zilva semakin menangis mendengar perkataan Levi.

Levi yang melihatnya hanya bisa tertawa kecil sambil menepuk nepuk punggung Zilva agar gadis itu tenang kembali.

"Eh tapi kenapa waktu itu Kak Levi nyuruh aku buat nganterin berkas yang isinya pemutusan kerja sama ke Om Jo? Pakai alasan beliau merugikan perusahaan lagi."

"Aku sudah nggak mau merepotkan beliau lagi. Aku mau mandiri. Dan soal merugikan itu cuma alasanku ke kamu waktu itu biar gak tanya mulu karena aku males jelasinnya."

Zilva mengerucutkan bibirnya. Ia yang diam sesaat tiba-tiba menanyakan pertanyaan aneh ke Levi, "Kak Levi maaf nih kalau out of topic, aku penasaran kenapa Kak Levi dingin banget sama cewek? Jutek banget, heran. Kak Levi ada trauma sama cewek?"

Levi terdiam. Zilva yang melihatnya terdiam, menduga bahwa hal itu benar adanya. Ia menunggu hingga Levi yang membuka suara agar tak ditegur lagi karena seenaknya memotong pembicaraan.

"Dulu pernah ada cewek yang obsesi banget sama aku."

Zilva tersentak. "Apa?!"

🍃🍃🍃

Bersambung :)
Vote dan komen? ❤

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang