44. Demam yang Meresahkan

83 9 1
                                    

Dedaunan kering berwarna kuning kecoklatan memisahkan diri dari ranting, menari di tengah udara dengan bebas kemudian jatuh karena adanya gaya tarik bumi.

Seorang gadis dengan rambut sebahu, wajah cantik dan juga berpipi tembam yang duduk di kursi taman di bawah pohon rindang menatap setiap dedaunan kering yang terjatuh.

Gadis yang kerap dipanggil Zilva itu menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku yang sudah ia duduki selama sepuluh menit lamanya. Setelah makan siang, ia selalu beristirahat di sana seorang diri dengan alasan "me time".

"Zilva, sorry, gue tahu lo masih ada lima menit lagi waktu istirahatnya, tapi tolong bantu gue di dalem dong. Resep lagi bejibun."

"Vio? Oh iya, ayo."

Mereka berlari kecil kembali ke ruangan kerja dan melakukan pekerjaannya seperti biasa. Zilva membuang napas berat. Tiba-tiba ia merasa lelah dan sedikit pusing setelah menyelesaikan beberapa resep. Gadis itu dengan segera mendudukkan dirinya di kursi plastik.

"Nih, minyak angin."

"Makasih, Kak Retha."

Zilva mengoleskan minyak angin beraroma lavender itu di daerah pelipis dan tengkuknya. Ia menikmati aroma menenangkan yang merasuki hidung itu.

"Vio," panggil Zilva pada teman sebayanya.

"Hm?"

"Kak Nazaretha dingin-dingin ternyata perhatian, ya. Yang jadi suami Kak Retha nanti pasti bahagia."

"Kak Retha aja? Yang jadi suami gue gak bahagia?" celetuk Vio.

Zilva tampak menimang-nimang jawaban. Ia mengusap dagu dan matanya melihat ke atas seolah berpikir keras. "Gak tahu deh, kan aku bukan Tuhan. Hahaha."

"Zilva, lo kalau sakit mending minta cuti ke Bu Nava," saran Nazaretha.

Gadis yang bersangkutan menoleh. Ia tertawa kecil seraya memijat kepalanya. "Segini doang mah kecil, Kak Retha."

Nazaretha mengembuskan napas pasrah seraya menggelengkan kepala.

Setelah dirasa lebih baik, Zilva bangkit dari duduknya dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Berjam-jam ia lewati hingga waktu pergantian shift. Zilva bergegas mengemasi barangnya dan berjalan ke parkiran.

Dering ponsel yang ia simpan di tas membuatnya terperanjat. Tangannya meraih ponsel kemudian menjawab telepon itu.

"Kenapa?"

"Dua minggu lagi aku wisuda."

"Oh gitu? Selamat, ya."

"Dateng, 'kan?"

"Siapa?"

"Kamu."

"Tergantung Kak Levi, karena dia yang atur transport-nya."

Gabriel hening sejenak. "Kamu jawabnya nyebelin, ya."

"Maaf, kek-nya aku demam, jadi bad mood dan gak fokus."

"Kamu sakit? Istirahat terus minum obat. Kamu pasti paham obat apa yang harus kamu minum sendiri, 'kan? Jangan lupa minum air putih yang banyak biar gak dehidrasi."

"Iya." Zilva mengangguk lemah. Ia berdiri di samping motornya kemudian memasukkan kuncinya. "Ya udah, aku pulang dulu, ya."

"Kamu pulang kerja? Eh, hati-hati pulangnya. Kalau gak kuat mending tinggal aja motormu, terus naik ojol."

"Aku kuat kok. Baybay, Gabriel." Ia mematikan sambungan teleponnya dan memasukkannya kembali k etas. Ia memasang helm dengan napas berat.

Zilva sendiri pun ragu ia kuat berkendara dengan motornya. Dengan tubuh lemas ia memaksa untuk mengendarai motor yang sudah menemaninya sejak SMK itu.

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang