Helaan nafas berat meluncur dari mulut sang pengetuk pintu. Hatinya terasa tersayat-sayat mendapati sang kakak berada dalam titik terlemahnya.

"Bukankah bunga itu indah?" Ujar si pria menunjuk pada buket bunga yang tak lagi bisa di sebut bunga.

Sudah lebih dari lima puluh kali pertanyaan yang sama terlontar. Sebanyak itulah susah payah ia menahan laju air matanya agar tak merembes keluar. Kakaknya bersalah. Tapi ia juga turut bersalah.

Ia turut mengambil andil dalam penyiksaan gadis yang seharusnya hidup bahagia sebagai Luna. Ia yang ikut menyiksa gadis itu. Gadis kecil yang bahkan ia tak tau apa-apa, menerima segala hinaan dan siksaan sepanjang waktu tanpa mau melawan.  Tanpa ada pembela satupun, bukanya ia melindungi sebagai yang lebih tua__ justru ia turut memperlakukan gadis itu dengan buruk.

"Ku mohon hentikan semua ini kak!." Raung gadis itu.

Memohon agar kakaknya yang mulai tak waras kembali pada dunianya yang dulu. Dunia yang ia anggap sudah sempurna hancur karena kakak lelakinya terjun bebas kedalam jurang bernama penyesalan.

"Aku bersalah kau tau itu. Kemana lagi aku harus mencari. Aku sudah mencarinya ke berbagai negara tapi tak ada satupun yang melihatnya." Jawab lelaki dengan suara lemah. Keterputusasaan jelas terdengar dari suaranya.

"Ayo keluarlah. Mom menunggumu usai kepergianya dari Lightmoon pack. Kau masih mempunyai tanggung jawab sebagai Alpha. Ayo kak Aarick."

Lelaki yang di panggil Aarick beranjak dalam diam. Matanya masih menerawang dalam udara kosong. Hingga kedua kaki membawa ia pada sebuah ruangan berisi soffa yang tengah di duduki ibunya di sana.

"Kau semakin kurus tak terawat nak." Ujar wanita separuh baya. Meski umurnya sudah lebih dari dua abad, wajah rupawanya tak melunturkan bagaimana sosok seorang Luna.

"Apa kau sudah makan? Kau sudah mandi? Sepertinya kau masih memakai baju yang kemarin." Lanjutnya lagi

Tak menghiraukan perkataan ibunya, Aarick mengajukan pertanyaan yang sama.

"Mom, punya kabar tentang keberadaanya?"

Helaan nafas kedua wanita menjadi jawaban atas pertanyaanya. Wajahnya kembali murung tatkala usahanya yang keratusan kali hanya berujung pada angin kosong belaka.

Tubuhnya yang kian mengurus tak ia hiraukan sebab yang ada dalam pikiranya hanyalah gadisnya yang tak kunjung ia temukan. Makan tak teratur, jarang mengurus keperluan pack hingga tubuhnya pun tidak ia urus sama sekali.

Wajah tampanya berubah menjadi wajah penuh kemurungan dengan lipatan hitam di bawah mata serta beberapa rambut kasar mulai tumbuh di sekitar rahangnya.

Ia tak peduli akan dirinya yang kini terlihat mirip mayat hidup. Yang menjadi obsesinya saat ini hanya menemukan Mate-nya. Hidupnya__ Emelly-nya.

Kembali, Aarick berjalan terseok-seok menuju kamar Emelly yang dua minggu terakhir ini ia tinggali. Menjadi peraduanya kala lelah dan rindu membelenggu jiwa.

Benaknya tak henti-hentinya mencari belas kasih MoonGoddes agar mempertemukanya dengan Emelly. Seluruh Eropa hingga benua lain ia sambangi. Dengan meluncurkan banyak mata-mata di sekitar wilayah pack lain untuk mendapati Emelly berada yang tentu saja hasilnya nihil.

Ia lelah mencari.
Lelah menunggu. Batas sabar seorang Aarick hanya setinggi kecambah. Hanya untuk mendapat maaf dari gadisnya ia rela melalukan apa saja.

Putaran waktu kembali membawanya  pada malam itu. Malam di mana pengangkatanya sebagai Alpha. Dimana dengan teganya ia me-reject Mate-nya sendiri didepan mata  publik yang menyaksikan.

Water Fire ControllersWhere stories live. Discover now