54. Dicari

1.6K 294 18
                                    

Duk. Duk. Duk.

Suara orang menumbuk entah apa memaksa Artunis bangun. Kepalanya masih terasa pening akibat kehilangan banyak darah, tapi setidaknya dia sekarang sadar. 

Tubuhnya terbaring di atas sebuah ranjang sederhana, tertutup selimut tipis. Setengah sadar Artunis menyentuh bagian tubuhnya yang terluka, dan merasakan perban baru di sana. 

Pasti Menno sudah menggantinya lagi. Terakhir kali mereka bicara, Menno memeriksa lukanya, lalu ada sekumpulan bandit, lalu ia nyaris tidak sadarkan diri, lalu seseorang dengan wajah yang tidak asing datang menolong mereka, lalu...

Panglima terkesiap bangkit dan duduk di ranjangnya. 

Lalu apa?

"Salam, Putra Agung," sebuah suara menyapanya. 

Mata Artunis menyipit melihat pria muda yang masuk ke kamar tempatnya berada dan menyajikan beberapa makanan kecil di meja di sisi ranjangnya. Rambut coklat itu, bentuk tubuh itu. Dia tidak pernah lupa orang yang pernah bertarung dengannya. Tapi seharusnya orang ini..

"Kenapa kamu masih hidup?"

"Putra Agung, tadinya saya mengharapkan ucapan terima kasih," jawab pria itu. "Selain sudah menyelamatkan Anda dan pelayan Anda barusan, saat ini Anda sedang berada di rumah saya, di kamar saya, dan di ranjang saya. Tolong jangan memandangi saya seolah Anda akan membunuh saya."

"Pelayan?" 

Artunis mengernyitkan dahi.

"Menno Karan!" serunya saat mengerti maksud pria muda itu. "Di mana dia sekarang?"

"Tidak usah panik Panglima," suara Menno memenuhi kamar saat ia masuk membawakan sepoci teh. "Kenalkan, ini Bala."

***

"Liam! Liam!" 

Di tengah hiruk pikuk kota Estahr, Neria berlari-lari mengejar Liam yang sekelibat ia lihat di jalan. 

Neria baru saja memasuki gerbang kota. Gadis itu bahkan tidak berpikir untuk kembali ke kediaman Panglima walaupun hanya untuk melepas lelah atau berganti pakaian. Neria perlu bertemu Liam. 

Sudah dua hari Panglima tidak kembali ke perkemahan. Secara diam-diam, beberapa orang telah dikirim sebagai regu pencarian - namun tanpa hasil. Tidak seorang pun di perkemahan berani bertindak gegabah. Berita hilangnya Panglima akan menjadi buah bibir yang tersebar hingga ke seluruh negeri - bahkan hingga ke Mirchad dan Runweld - seandainya ketahuan. Akibatnya, bisa jadi Pasukan Fajar mendapat serangan habis-habisan dari pasukan musuh.

Karena itu Neria dan para panglima bawahan Artunis memilih diam. Selain beberapa orang yang dipercaya, tidak ada yang tahu bahwa Putra Agung Artunis tidak sedang berada di perkemahan. 

Bahkan Emiran pun belum tahu. Entah apa yang akan pria itu lakukan seandainya ia tahu Putra Agung asuhannya menghilang. 

Neria samar-samar melihat Liam berbelok ke penginapan. Ia berlari mengejar dan tanpa basa-basi memanggil namanya. 

"Liam!"

Syukurlah kali ini, anak muda itu mendengar. 

"Nona Neria, ada apa?"

"Ada keadaan gawat."

***

Liam tidak berhenti mondar-mandir di kamarnya semenjak Neria menceritakan semua yang terjadi.

"Aku bahkan tidak tahu bahwa Paman sempat pergi menemui Panglima. Kukira dia masih berada di Creig."

Liam mengutuki diri dalam hati. Dua hari terakhir ini, ia kedatangan begitu banyak burung merpati. Semuanya disegel tertutup, bertanda khusus, tanda bahwa pesan itu sebenarnya ditujukan untuk Menno. Tadinya ia berpikir bahwa Pamannya itu akan segera datang ke Estahr, sehingga ayahnya mengirim burung-burung itu kepadanya. 

Artunis (Artunis #1)Where stories live. Discover now