30. Hitam Putih

1.6K 286 9
                                    

Saat Panglima melihat Menno, pria itu sedang memakai bajunya yang paling tipis, lalu duduk bersila di depan tungku sambil mengaduk kuali berisi ramuan entah apa. Peluh mengalir dari kening dan lehernya, namun matanya tetap tajam, fokus pada pekerjaan yang sedang dia lakukan.

Tanpa sadar, Panglima menghela nafas dan tersenyum. Dalam diri Menno, dia menemukan sedikit ketenangan di tengah kekacauan yang melanda kota yang dia sayangi.

Panglima tidak menyangka bahwa Menno akan memilih toko obat ini sebagai tempat untuk bekerja.  Toko obat ini tidak terlalu besar, namun memang yang terdekat dari tempat tinggal Panglima. Lagipula, karena lokasinya berada di bagian Selatan kota, tidak banyak orang datang ke toko ini, kecuali mereka mencari tanaman-tanaman obat khusus yang hanya dijual di sana.

Menno menyadari keberadaan Panglima setelah beberapa saat. Ia menoleh dan memberikan senyum khas Menno, yang, seperti biasa, penuh kepercayaan diri yang berlebihan.

Tapi Panglima tidak ingin berkomentar soal itu sekarang.

Tanpa menunggu Menno mengucapkan salam, Panglima mendekat dan duduk di sisi Menno, mengamati apa yang sedang dia kerjakan.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Panglima.

"Apa maksud Panglima? Tentu saja aku baik-baik saja."

Walaupun sedikit menyesal sudah bertanya, Panglima menghela nafas lega. Menno jatuh sakit adalah hal terakhir yang Panglima ingin dengar.

"Apa ada yang bisa aku bantu?" tanya Panglima lagi.

Menno mengerutkan dahinya, berpikir sebentar, lalu menoleh kembali kepada Panglima.

"Ada dua pilihan," jawabnya. "Panglima bisa membantu mengaduk kuali ini, tapi karena ini berisi obat, Panglima harus memerhatikan kecepatan putarannya, suhunya, dan pastikan tidak ada bahan yang mengendap dan berkerak di bawah."

Panglima seumur hidupnya belum pernah mengaduk obat. Tugas ini sepertinya bukan untuknya.

"Pilihan kedua, Panglima bisa membantu mengipasi tubuhku supaya tidak kepanasan."

Mata Panglima membesar. Dia bahkan tidak tahu apa yang harus dipikirkan. Rasa kaget, kesal, dan gugup bercampur menjadi satu hingga yang keluar dari mulutnya hanyalah gumaman lirih.

"Ja-jangan bercanda."

Menno mengelap dahi dengan lengan bajunya.

"Aku tidak bercanda," kata Menno. "Hari ini panasnya bukan main, dan keringatku tidak berhenti mengalir. Sayangnya, resep obat yang kubuat tidak memerlukan keringat manusia di dalamnya."

Masih setengah kesal, Panglima mengambil kipas yang tergeletak di dekat tempat Menno duduk dan mulai mengipasi pria itu. Menno menghela nafas penuh kenikmatan merasakan udara dingin meniup wajah dan lehernya.

"Terima kasih."

Menno tersenyum mendengar kata-kata Panglima.

"Harusnya aku yang berterima kasih, sudah dikipasi begini."

Panglima refleks memukul bahu Menno dengan kipas di tangannya.

"Iya, iya, aku mengerti," jawab Menno sambil mengusap-usap tangannya. "Jangan terlalu cepat berterima kasih. Aku bilang pada pemilik toko semua obat yang aku ambil akan dibayar oleh Panglima lho."

Panglima tersenyum. Bahkan dalam situasi seperti ini Menno masih saja bercanda. Apa mungkin karena melihat Menno seperti ini, Panglima tidak merasa terlalu khawatir atau tertekan, sekalipun mereka belum tahu penyebab wabah di kota tersebut.

Ketika hari sudah menjelang petang, Menno memanggil beberapa pegawai toko dan meminta mereka membagikan obat yang sudah selesai dibuat. Obat tersebut akan dibawa ke titik-titik di mana banyak orang menderita sakit dan dibagikan, untuk menilai hasilnya. Panglima juga meminta sebagian prajuritnya untuk membantu.

"Panglima," panggil Menno saat mereka sudah selesai mengatur distribusi obat. "Kamu baru datang dari perkemahan. Pulang dan beristirahatlah."

Panglima tengah duduk sambil membaca laporan-laporan yang berada di ruangan yang Menno gunakan. Terlihat jelas bahwa Menno membaca semua laporan yang Askar berikan dengan serius, bahkan membuat ringkasan informasi yang memudahkannya memahami situasi kota secara keseluruhan. Bisa dibilang, Panglima bahkan tidak perlu lagi membaca laporan yang dibuat oleh Askar dan para prajuritnya, dan hanya perlu membaca laporan yang sudah disusun oleh Menno.

"Kenapa kamu kelihatannya ahli sekali mengerjakan laporan-laporan seperti ini?" tanya Panglima, mengabaikan kata-kata Menno sebelumnya.

Menno menghela nafas dan duduk bersandar di dinding. Tubuhnya merasa sangat lelah. Dibilang ahli sekalipun, dia tidak tidur semalaman memeriksa semua informasi dari Askar - jumlah ornag sakit, lokasi, gejala, dan segala sesuatunya. Ia juga bekerja sama dengan rumah sakit di Estahr, meminjam sebanyak mungkin perawat dan tabib yang bisa meluangkan waktunya untuk membantu. Belum lagi menetapkan prosedur karantina dan sistem pelaporan. Setelah itu, dia mengumpulkan bahan-bahan obat dan membuat ramuan untuk setidaknya mengatasi gejala penyakit tersebut terlebih dahulu.

Sekarang tubuhnya sangat lelah.

Walaupun dia menyuruh Panglima beristirahat, pada kenyataannya, dia-lah yang perlu tidur.

"Syukurlah akhirnya Panglima mendapat kesempatan melihat kejeniusanku," jawabnya asal, suaranya sudah terdengar lirih.

"Siapa kamu sebenarnya?"

Panglima menunggu jawaban Menno yang tidak kunjung datang, lalu melihat ke arahnya.

Mata pria itu sudah tertutup rapat, dengan dua tangannya terlipat rapi di dadanya, naik turun mengikuti irama nafas Menno. Punggungnya bersandar pada dinding, mencari kenyamanan dan kesejukan di sana.

Tanpa sadar, Panglima tersenyum. Lagi. Walaupun dia tahu bahwa mengingat keadaan di Estahr, seharusnya di tidak punya mood untuk sering sering tersenyum.

Panglima mengambil selembar kain tipis yang biasanya digunakan sebagai taplak meja, lalu menyelimuti Menno. Walaupun tidur Menno mungkin tidak senyaman bila berada di kediamannya, dalam masa sulit, orang harus belajar berpuas.

Panglima memperhatikan wajah Menno baik-baik sambil merapikan 'selimut'-nya. Menno yang biasanya banyak bicara, terlalu percaya diri, dan narsis, kini terlihat tenang dan berwibawa.

Mungkin dia juga seorang bangsawan, pikir Artunis.

Selama ini Artunis tidak pernah bertanya, karena meskipun dia tahu bahwa Menno seorang Agung, Artunis selalu berpikir bahwa Menno hanyalah seorang petualang yang suka bersenang-senang.

Mungkin aku salah.

Panglima kembali duduk di depan meja kerjanya, mencoba berkonsentrasi pada kertas-kertas di hadapannya. Tapi matanya lagi-lagi melirik Menno.

Siapa sangka Menno saat tidur sungguh......enak dipandang.

Bagi Panglima, pemandangan yang ada di ruangan sekarang tidak jauh berbeda dengan pemandangan di luar - bulan purnama di langit malam - hitam berhias putih. Panglima yang terbiasa melihat gambar-gambar dengan warna semarak sebelumnya tidak pernah sadar bahwa sesuatu yang tidak berwarna bisa juga indah.

Jemarinya mengambil sehelai kertas dan sebuah pena - tapi bukan untuk bekerja. Entah kapan terakhir kali Panglima menulis sajak.

"Parasmu di bawah rembulan... "

Artunis (Artunis #1)Where stories live. Discover now