22. Kembang Api

1.8K 325 20
                                    

Ini kali kedua Panglima mengajak Menno naik ke tembok kota - tempat yang sama saat Menno baru kembali dari Mirchad. Saat itu Panglima meminta Menno menjadi pelukisnya.

Rasanya sudah terlalu banyak hal terjadi sejak saat itu.

Panglima meminta seorang pengawal membawakan anggur - lagi - dan beberapa cemilan. Pengawal yang sedang berjaga tentu saja dilarang minum, tapi mereka boleh makan, jadi Panglima memberikan sebagian camilan kepada mereka.

"Kenapa kita ke sini?" tanya Menno saat Panglima menyodorkan botol berisi anggur kepadanya.

"Menonton."

Panglima meneguk anggur di tangannya sendiri dan menonton perayaan dari atas tembok. Dia memang benar. Tembok ini adalah tempat terbaik untuk melihat seantero kota.

Menno menonton semakin banyak orang berkumpul di alun-alun kota. Para pedagang yang sebelumnya sibuk berjualan di jalan-jalan membereskan lapak mereka masing-masing dan ikut berkumpul di sana. Ia menoleh dan melihat Panglima tersenyum - bukam senyum tipis atau dingin, bukan juga seringai yang ia tampakkan kalau sedang mengganggu orang, bukan juga senyum manis yang ia berikan kepada Parisha tadi, tapi hanya senyum.

Betapa beruntungnya orang yang pernah melihat senyum Panglima. 

Panglima sadar bahwa Menno sedang memperhatikannya.

"Ada apa?"

Menno berdehem.

"Tidak, tidak."

Menno kembali memperhatikan situasi kota dan mengalihkan pembicaraan.

"Kenapa semua orang berkumpul di sana?"

"Sebentar lagi waktunya kembang api."

Menno mengangguk. Matanya menangkap gerakan seorang wanita di keramaian.

Parisha.

Menno termenung.

"Memikirkan apa?" tanya Panglima, lagi-lagi meneguk anggurnya.

"Nona Parisha."

Panglima menatap Menno tajam. Demi angin, Menno mengutuk dirinya sendiri karena bicara sebelum berpikir. Ia melihat Panglima mengepalkan tangannya perlahan, namun ekspresi wajahnya tetap dingin seperti biasa.

"Masih belum puas melihatnya malam ini?" tanya Panglima dengan nada tenang, yang membuat Menno makin seram.

"Bukan begitu," katanya jujur. "Aku entah kenapa merasa seperti pernah melihatnya, tapi tidak ingat di mana."

Panglima menghela nafas, seolah lega, lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah kota.

"Lukisanmu."

"Eh?"

"Ada gadis yang sangat mirip Parisha dalam lukisanmu," kata Panglima menjelaskan.

Plok!

Menno bertepuk tangan.

"Pantas saja! Saat melihatnya menari aku berpikir di mana aku pernah melihat gadis itu."

Panglima menggelengkan kepala. Pelukis macam apa yang lupa dengan lukisannya sendiri?

"Rambut hitam legam, tubuh ramping, gerakan indah, siapa lagi kalau bukan Menno Karan yang bisa bertemu gadis seperti itu dalam mimpinya dan mewujudkannya dalam lukisan?"

Menno mulai lagi dengan kenarsisannya. Entah mana yang lebih buruk, mendengar Menno mengagumi Perisha, atau mendengarnya narsis mengagumi diri sendiri.

Artunis (Artunis #1)Where stories live. Discover now