49. Nyaris

1.7K 274 10
                                    

Artunis duduk diam di kemahnya dengan tampang gusar. Kedua tangannya terkepal kuat di atas meja. Makanan dan minuman yang tersaji di atas mejanya pun tidak ia hiraukan. Semuanya gara-gara apa yang terjadi sore tadi.

Nyaris.

Kalau bukan karena Neria yang tiba-tiba datang dan memergoki mereka berdua sambil membawa nampan berisi minuman, entah apa yang sudah Artunis katakan kepada pelukis sok pintar itu.

Jantungnya masih berdebar kencang mengingat itu semua. Apa yang hampir saja dia katakan kepada Menno?

'Aku mencintaimu'? Tidak mungkin. 'Aku bukan seorang Putra Agung'? Lebih tidak mungkin. Artunis menggebrak meja dengan kepalan tangannya. Setelah situasi tidak mengenakkan tadi, Artunis maupun Menno sama-sama bersikap seolah tidak ada yang terjadi di depan Neria. Mereka makan dan minum bersama, lalu Menno kembali sibuk dengan tanaman-tanaman herbal sementara Panglima kembali ke tendanya untuk menenangkan diri.

Kendalikan dirimu, Artunis, ujarnya pada dirinya sendiri. Jangan berbuat bodoh hanya gara-gara seorang Menno Karan.

Tapi akhir-akhir ini, semua perbuatan bodoh yang Artunis lakukan adalah gara-gara Menno Karan. Putra Agung atau bukan, Panglima Tinggi atau bukan, bagaimana pun juga Artunis tetaplah hanya manusia biasa yang bisa bertindak bodoh seperti manusia-manusia lainnya ketika sedang dikuasai perasaan.

Hanya saja, akibat yang dia alami kalau lepas kendali lebih parah daripada orang-orang lain. Karena itu Artunis tidak boleh bertindak sembarangan. Ia hanya punya dua pilihan.

Pilihan pertama. Menyingkirkan Menno dari kehidupannya - dari muka bumi kalau perlu - demi melindungi dirinya dan rahasianya sebelum ia kehilangan kendali, sebelum ia jatuh lebih dalam lagi.

Pilihan kedua. Sebelum ia meledak karena memendam perasaannya sendiri, Artunis harus memberitahu Menno semuanya.

Perasaannya.

Rahasianya.

Mempertaruhkan seluruh kehidupannya dengan memberi tahu Menno Karan segalanya.

Gila! Aku pasti sudah gila!

Hanya ada tiga orang selain dirinya sendiri yang mengetahui rahasia terbesar Putra Agung Artunis - orang tuanya, dan Neria. Seandainya pun Artunis setuju membagikan rahasia ini kepada Menno, ia harus yakin bahwa Menno bisa dipercaya. Menno - yang datang dan pergi sesuka hati, yang sekarang ada dan besok hilang, yang isi kepalanya, prinsip hidupnya, jalan pikirannya bagi Artunis adalah labirin gelap tanpa jalan keluar - apakah pria itu bisa dipercaya untuk menyimpan rahasia sebesar ini?

Tentu saja tidak. Apa yang kau pikirkan, Artunis? Bisa saja dia kabur entah kemana setelah mengetahui hal tersebut, sama seperti sewaktu dia melihat wajahku tanpa topeng.

Tapi setelah melihat wajah Artunis, walaupun Menno 'melarikan diri', dia menjaga rahasia Artunis. Demi angin - Menno bahkan melindungi rahasia Artunis lebih dari sekali, walaupun Artunis belum tahu apa alasannya.

Mana yang lebih baik?

Menjaga rahasianya, dan melepas Menno?

Atau memiliki Menno, dan melepas rahasianya?

Kalaupun ia memberi tahu Menno, tidak ada yang bisa menjamin bahwa pria tidak jelas itu akan memberikan hatinya kepada Artunis.

Panglima Agung itu kembali menggebrak meja, membuat jantung para pengawal yang menjaga pintu kemahnya berhenti berdetak sesaat.

Sial! makinya dalam hati. Aku, Putra Agung Artunis, tidak kenal takut. Kalau memang harus bicara, aku akan bicara.

Panglima bangkit berdiri dan berjalan cepat menuju pintu kemah, lalu berhenti tepat sebelum ia keluar. Artunis menarik nafasnya dalam-dalam.

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang