02. Saputangan

6.8K 587 8
                                    

Putra Agung Artunis duduk bersila di hadapan setumpuk berkas dan laporan dari Kota Estahr dan Pasukan Fajar. Setelah bertahun-tahun mengelola keduanya, ia belajar bahwa lebih efisien mengerjakan semuanya dari satu tempat - rumah kediamannya di Estahr - daripada bolak-balik kota dan perkemahan tentara. Terlebih lagi, Surpara dan Mirchad sedang berada dalam periode gencatan senjata selama 15 tahun. Tanpa kekhawatiran akan serangan musuh, ia bisa berkonsentrasi pada perkembangan kota sambil menerima laporan dari perkemahan.

Tok. Tok.

Pintu kamar Putra Agung diketuk.

"Ini saya, Neria."

Neria masuk dengan dua orang pelayan wanita yang membawa pakaian ganti bagi Putra Agung.

"Saya akan membantu Panglima bersiap-siap."

Masih dengan mulut terkatup rapat, ia berdiri. Neria memberi isyarat agar kedua pelayan itu keluar dan menutup pintu di belakang mereka.

"Bagaimana hari Anda, Panglima?"

Jemari-jemari cekatan Neria membantu Panglima melepaskan kaftannya.

"Kenapa begitu formal?"

Kalimat yang seharusnya hangat, diucapkan dengan nada suara Panglima Tinggi Artunis, terdengar dingin dan mengancam. Namun Neria sudah terbiasa.

"Iya, iya, maaf," Neria mengubah cara bicaranya. "Bagaimana harimu?"

"Membosankan. Bagaimana harimu?"

"Seperti biasa. Mencari bahan-bahan untuk obat, meramu pasokan rempah dan ramuan untuk pasukan di perkemahan, mencuci beberapa helai pakaian dalam Pang-"

Neria mengendus pakaian Panglima, lalu rambut merahnya sambil mengernyitkan dahi. Ia kemudian menggenggam lengan Panglima dan merasakan denyut nadinya.

"Hampir diracun orang, Panglima masih bisa bilang harimu membosankan?"

***

"Paman, kita pulang saja ya."

Setelah pengalaman mereka tadi siang, sebetulnya Liam ingin langsung masuk ke kamarnya dab beristirahat. Tapi kawannya satu ini bersikukuh minta diantar keliling kota. Estahr itu luas. kalau mereka mau ke semua tempat yang menarik, satu minggu pun tidak akan cukup. Jadi setelah tawar menawar, Menno hanya meminta Liam mengantarnya ke toko seni dan toko obat.

"Paman, kita sudah ke lima toko seni yang berbeda. paman sudah beli semua yang dibutuhkan untuk melukis. Jadi malam ini, Paman melukis saja, dan besok, baru kita ke toko obat. Bagaimana?"

"Liam, kamu sudah berjanji. Laki-laki tidak boleh ingkar. Setidaknya bawa aku ke satu toko obat."

Liam menunjuk toko obat terbesar di Estahr. Letaknya hanya 20 langkah dari tempat mereka berdiri.

"Paman silakan ke sana sendiri. Aku tunggu di luar saja."

"Selamat pagi, Tuan, ada yang bisa dibantu?" suara penjaga toko menyambut langkah Menno ke dalam toko itu.

"Ah, aku cuma perlu teh bunga krisan dan gula tebu."

Menno berkeliling toko sambil menunggu penjaga toko membungkus pesanannya. Di salah satu rak tertulis 'Bunga Kahalu', namun rak itu kosong.

"Silakan, Tuan."

"Emm, persediaan bunga kahalu milik kalian kosong?" tanyanya sambil menunjuk tanda di rak.

"Bukan cuma di toko kami, Tuan, di semua toko di Estahr juga begitu. Sudah berbulan-bulan kami tidak punya bunga kahalu."

"Sayang sekali. Padahal bunga kahalu berkhasiat luar biasa. Seandainya ada, aku pasti membelinya sekalian."

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang