14. Curahan Hati

2.1K 331 8
                                    

Menno hampir tidak mempercayai pendengarannya. 

"Panglima, boleh saya tahu maksud Anda?"

Panglima tidak menjawab, malah membicarakan hal lain.

"Estahr dari atas sini, bagaimana menurutmu?"

Menno mencondongkan tubuhnya, bertumpu pada pagar pendek di sekeliling tembok kota. 

"Mungkin ini pemandangan kota terindah yang pernah saya lihat," ujarnya. "Bahkan di Mirchad saya belum pernah menikmati hal seperti ini."

Panglima kembali meneguk araknya.

"Seandainya kamu ada di sini empat puluh tahun yang lalu, kamu tidak akan bisa membayangkan Estahr akan jadi seperti sekarang."

Ketika Putra Agung mendapat mandat menjaga perbatasan empat puluh tahun yang lalu, Estahr hanyalah kota perbatasan yang kecil dan miskin. Peperangan dan petempuran yang terjadi di sekitarnya membuat kota itu tidak berkembang, apalagi makmur. Para pedagang tidak berani menghampiri, dan para penduduk mengungsi bila ada kesempatan. Hanya Putra Agung yang menyadari potensi kota tersebut. 

Dimulai dari membangun tembok yang kokoh, dan menerapkan sistem dua gerbang, Putra Agung menjadikan Estahr kota metropolitan dan pusat perdagangan, tanpa melanggar aturan Sang Agung soal penutupan perbatasan. Setelah itu, Putra Agung memindahkan markas utama Pasukan Fajar ke arah pegunungan di utara, menjadikan Pasukan Fajar sebagai tameng bagi kota itu, seandainya Mirchad menyerang. Langkah terakhir, ia memenangkan pertempuran demi pertempuran, memaksa Mirchad untuk menyerah dan menandatangani gencatan senjata, sehingga Kota Estahr bisa aman tanpa mengkhawatirkan musuh selama setidaknya 15 tahun. 

Putra Agung rela menjadi sasaran pembunuh bayaran asalkan Estahr bisa hidup limpah dan sejahtera. Putra Agung rela bekerja keras siang dan malam selama bertahun-tahun demi mengurus baik Estahr maupun Pasukan Fajar.

"Tanpa Putra Agung Artunis, Estahr yang sekarang tidak akan mungkin ada. Tanpa Panglima Artunis, Pasukan Fajar yang sekarang tidak mungkin ada," ujarnya lirih. 

Panglima kini sudah sampai pada botol arak ketiga-nya. Semburat jingga di kaki langit sudah hampir hilang seluruhnya. Tapi ia masih belum selesai. 

Berada di atas sini, memandangi kota yang ia sayangi, pasukan yang ia sayangi, dua hal yang sudah hampir seperti anak baginya, mana mungkin ia sanggup membayangkan saat ketika ia harus melepaskan keduanya, ketika ia harus melihat orang lain berbuat seenaknya terhadap kota dan pasukannya, dan ketika ia hanya bisa melihat tanpa berbuat apa-apa.

Semuanya hanya karena dia bukan Putra Agung sejati. 

Tanpa gelarnya sebagai Putra Agung, tanpa kekuasaannya sebagai Panglima Fajar, Artunis - hanya nama Artunis - bukan siapa-siapa. Ia bahkan tidak lebih baik dari pedagang Mirchad yang bernama Liam itu - tidak berdaya, lemah, tidak bisa melindungi dan menjaga hal yang ia sayangi. 

Karena itu, selama dia masih memegang gelar Putra Agung dan Panglima, setelah semua hal yang ia lakukan bagi kota ini...

"Bukankah aku pantas dipanggil dengan gelarku? Bukankah aku pantas dipanggil 'Putra Agung' dan 'Panglima'?" tanyanya pahit.

Menno tersenyum pahit mendengarnya. Bukankah ia juga bernasib sama? Sebagai seorang Pangeran, dipanggil dengan nama oleh orang yang mencoba membunuhnya - apa ada hal yang lebih rendah daripada itu? 

Jika Pangeran yang tidak punya prestasi saja merasa kesal seperti itu, bagaimana lagi Putra Agung Artunis, yang bukan saja darahnya, tapi juga prestasinya, membuatnya pantas menyandang gelar-gelar yang lebih tinggi daripada ini? 

"Itukah alasannya Panglima membunuh orang hari ini?" tanya Menno.

Panglima tidak menjawab. Kalau mau bicara soal alasan, ada seribu alasan untuk membunuh orang itu. Ia adalah mata-mata Mirchad yang putus asa setelah ketahuan, dan berbalik menyerang Panglima, berupaya membunuhnya. Ia juga menyebut nama Artunis tanpa gelarnya, dan sesuai hukum, nyawalah bayarannya. Tapi harus Panglima akui, yang tadi siang adalah emosinya yang bicara.

"Seperti yang dia bilang, kejayaanku akan segera berakhir," kata Panglima setelah menenggak habis isi botolnya. "Jadi lukislah aku."

Setidaknya, biarkan sesuatu dari Putra Agung Artunis tersisa di dunia ini, sebelum sang Putra Agung sungguh-sungguh menjadi debu, seperti bunga kahalu.

Jujur, Menno sama sekali tidak mengerti maksud Panglima. Tapi ia mengerti kesedihan di balik suara tegas orang berambut merah tersebut. Menno juga tidak berani bertanya lebih lanjut. Antara Panglima akan memberitahunya lain kali, atau ia akan mencari informasi sendiri - yang jelas, saat ini, mengikuti mood Panglima adalah pilihan terbaik.

"Sejak awal, saya memang ingin meneruskan kebesaran Panglima kepada generasi-generasi mendatang melalui lukisan saya," jawabnya. "Tapi boleh saya bicara satu hal?"

Panglima mengangguk.

"Peninggalan terbesar Panglima adalah kota ini. Selama Estahr masih berdiri tegak, selama dari atas temboknya para prajurit masih menikmati matahari terbenam seperti yang kita nikmati sekarang, Putra Agung Artunis tidak akan pernah binasa."

Panglima tidak lagi bicara. Perkataan Menno baginya, adalah perkataan yang paling menghibur yang ia dapatkan setelah berbulan-bulan. Di balik topeng emas yang ia kenakan, untuk pertama kalinya setelah meninggalkan Nisaya, matanya tersenyum.

***

"Terus kenapa Paman jadi tinggal di kediaman Putra Agung?" 

Sejak datang ke kediaman Putra Agung pagi ini, Liam tidak berhenti mengajukan berbagai pertanyaan. 

"Ssstt.. Jangan panggil Paman, Paman," Menno membekap mulut anak itu lagi. "Mau berapa kali dikasih tahu sih? Sudah kubilang, sekarang aku resmi menjadi pelukis tetap Panglima Artunis. Jadi tentu saja dapat fasilitas ekstra."

"Bercanda. Kamu pasti minta ya? Dasar tidak tahu malu."

"Main tuduh," ujar Menno kesal.

Kemarin malam, setelah puas melihat kota dari atas tembok, Panglima mengantar Menno ke penginapan. Ia tentu saja tidak ingin Menno tersesat di kota itu lagi, seperti saat mereka bertemu berbulan-bulan lalu. Mungkin karena suasana hatinya yang baik, mungkin karena udara yang cerah, Panglima melontarkan tawaran tersebut.

"Jangan lagi tinggal di penginapan. Tinggal saja di kediamanku."

Jantung Menno hampir berhenti. 

"Panglima, saya tidak mungkin-"

"Sebentar lagi musim dingin. Penginapan akan jadi sangat tidak nyaman," Panglima memotong kata-kata Menno. "Lagipula, penginapan mahal. Aku tidak akan membayar biaya penginapanmu."

Apa Panglima terlalu banyak minum? pikir Menno dalam hati. Tapi kenapa dia terlihat biasa saja?

Menno mencoba menolak sekali lagi.

"Panglima, mana mungkin saya berani-"

"Ini perintah."

Begitu kalimat tersebut keluar dari bibir Panglima, dia pasti tidak menerima penolakan. Menno cuma bisa menghela nafas, bingung antara senang atau tegang, membayangkan bahwa dia bisa selalu dekat dengan Panglima yang ia kagumi dan sekaligus dekat dengan maut yang selalu ada di sekelilingnya. 

Keesokan paginya, bahkan sebelum matahari terbit, beberapa orang sudah datang ke penginapan untuk mengangkut barang-barang Menno dan Liam serta memindahkannya ke kamar-kamar tamu milik Panglima. Liam yang tidak tahu apa-apa kaget setengah mati, dan setelah kembali sadar, hanya bisa mengutuki Menno dalam hati. 

"Jadi jangan salahkan aku kalau sekarang kita harus tinggal di kediaman Putra Agung," kata Menno mengakhiri ceritanya. 

"Kenapa Paman mesti bawa-bawa aku juga?"

Menno menyeringai.

"Kamu pikir aku mau menghadapi Panglima Agung seorang diri?"

Entah seperti apa hidupnya setelah ini.

Artunis (Artunis #1)Where stories live. Discover now