Dua minggu berlalu begitu cepat. Malam ini adalah malam ia dan Panglima akan menghadiri jamuan di rumah Duta Besar Mazares. Duta Besar begitu bersemangat mengundang Putra Agung, ia mengirim undangan pagi-pagi sekali setelah malam perayaan.
Seandainya ia tahu kenapa Panglima setuju pergi menghadiri jamuan makannya...
Bukan, bukan Parisha, walaupun kelihatannya itu alasan yang semua orang pikirkan, dan alasan kenapa Duta Besar begitu bersemangat.
Soal Parisha.
Panglima menceritakan kepada Neria secara singkat apa yang terjadi di tembok kota, dan gadis itu tertawa sampai puas. Kalau dia bukan perempuan, mungkin Panglima sudah memukulinya saking kesal.
"Aku sudah curiga. Ternyata benar sebenarnya Panglima menaruh hati pada Menno Karan," ujarnya bahagia sekaligus geli.
"Kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan," balas Panglima.
Neria menggeleng.
"Setidaknya aku sekarang tenang. Lebih baik Panglima pergi ke mana-mana dengan Menno daripada dengan Parisha."
Panglima tidak mengerti gadis ini. Bukannya justru lebih tidak masalah kalau Panglima digosipkan bersama dengan Parisha daripada dengan Menno?
Tapi setelah dipikir lagi, mungkin tidak ada orang yang berani bergosip seperti itu.
Kecuali mereka tidak sayang nyawa.
Panglima melihat Menno mendekatinya dari kejauhan, siap menghadiri jamuan - dengan pakaian khas Surpara. Tubuhnya yang tinggi ramping dibalut set kemeja dan celana putih, lengkap dengan kaftan berwarna senada. Kaftan itu cukup untuk membuat Menno jadi pusat perhatian di jamuan nanti. Putih bersih dengan sulaman-sulaman yang dibuat dengan benang emas, kaftan ini bukan barang murah.
Panglima menelan ludah. Kenapa dia tiba-tiba gugup? Dengan senyum manis menghiasi wajahnya yang dibingkai rambut hitam, Menno mengucapkan salam kepada Panglima.
"Terima kasih atas pakaiannya," tambahnya.
Panglima mengangguk. Benar. Pakaian Menno dari atas ke bawah adalah baju yang ia pesan khusus beberapa waktu yang lalu. Panglima tahu pakaian itu akan cocok untuk Menno.
Tapi tidak mengira akan secocok itu.
"Baguslah kalau kamu suka," jawabnya ringan, tapi sambil memalingkan wajah.
Fokus Artunis.
"Tentu saja aku suka!" seru Menno tanpa malu-malu. "Tapi aku hampir saja menolaknya."
"Apa ada yang salah?" tanya Panglima Artunis, agak terkejut. Seharusnya tidak ada masalah. Ia sudah memastikan semuanya akan pas di tubuh Menno. Lalu kenapa..
"Aku hampir lupa ini Surpara."
Panglima mengernyitkan dahinya, masih tidak yakin apa hubungannya.
"Aku lama tinggal di Runweld-"
Mata Panglima langsung membesar.
Harusnya jangan disulam emas.
Runweld adalah negara yang berbatasan dengan Mirchad di sebelah timur dan Surpara di selatan. Walau Panglima belum pernah pergi ke sana, ia pernah belajar mengenai Runweld bertahun-tahun yang lalu.
Mengenakan baju putih bersulam emas adalah tradisi pernikahan di sana. Mempelai pria akan memberikan baju putih bersulam emas kepada mempelai wanita untuk dikenakan pada hari pernikahan mereka.
Pantas saja Menno kaget.
"Jangan berpikir macam-macam," sahut Panglima cepat-cepat. "Pertama, kamu orang Mirchad. Kedua, ini Surpara. Tradisi Runweld tidak ada hubungannya."
Menno mengangkat bahu.
Panglima cepat-cepat membalikkan badannya, lalu berjalan masuk ke kereta kuda yang sudah disiapkan.
"Jadi hari ini, selain menonton tarian, apa rencana Panglima?" tanya Menno sambil duduk di sebelah Panglima.
"Kita hanya akan meninjau, apakah Mazares betul-betul perlu dicurigai atau tidak."
Menno tersenyum.
"Hmm, aku punya rencana."
***
Duta Besar Mazares menyambut Panglima di gerbang pintu, tanpa memberi perhatian kepada Menno yang berjalan tepat di belakangnya. Seperti biasa, seluruh kediaman dipersiapkan dengan baik, pantas untuk kedatangan tamu sepenting Putra Agung Artunis, Panglima Tinggi Pasukan Fajar. Lampu-lampu menghiasi koridor-koridor menuju ruang jamuan, aroma rempah-rempah memenuhi ruangan, perabotan dan alat makan semuanya terbuat dari bahan kualitas terbaik.
Meski Duta Besar Mazares terlalu sibuk memperhatikan Panglima dan berusaha menyenangkan hati Putra Agung, banyak mata tidak bisa melepaskan pandangan dari Menno. Walaupun di Estahr Menno tidak menyembunyikan identitasnya, dia juga tidak memperkenalkan diri di depan umum sebagai Menno Karan, alias pelukis terkenal itu. Jadi banyak orang bertanya-tanya siapa pria dengan pakaian mewah yang mengikuti Putra Agung. Tidak mungkin penjaganya, karena tubuh Menno tidak terlihat seperti tubuh seorang prajurit, dan karena tidak mungkin seorang prajurit mampu membeli pakaian seindah itu.
Walau Menno sadar akan tatapan orang-orang, ia santai saja menerima semua perhatian mereka. Anggap saja mereka menatap dan berbisik-bisik karena menyadari ketampanannya yang selama ini tersembunyi.
Toh soal Menno tampan, itu tidak salah.
Soal kaftan putih bersulam emas sudah jelas, tapi yang lebih penting daripada indahnya pakaian itu adalah bagaimana warna putih menonjolkan paras cerah Menno. Rambut hitam Menno yang jatuh di sekeliling bahunya dan terus ke dadanya begitu kontras dengan pakaiannya, wajahnya yang terang seolah bercahaya, dan matanya yang coklat tua tampak berkilauan karenanya.
Singkat kata, Menno tampak seperti bulan purnama yang bersinar di langit malam.
Seandainya dia tidak terlalu banyak tersenyum, mungkin Menno akan tampak lebih tampan lagi. Tapi, kita tidak boleh berharap terlalu banyak.
Putra Agung memasuki ruang jamuan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia mengambil tempat duduk di sebelah Duta Besar - tempat duduk untuk tamu kehormatan. Tanpa dipersilakan, Menno duduk di sebelah Putra Agung. Tadinya Duta Besar mau melarang, tapi melihat Putra Agung, sang Duta Besar mengurungkan niatnya.
"Terima kasih atas kedatangan Putra Agung Artunis dan para tamu sekalian," Duta Besar membuka acara jamuannya. "Sebentar lagi kita akan menikmati makanan yang lezat dan ditemani musik dan tarian untuk menghibur kita semua."
Seketika juga, belasan pelayan memasuki ruangan dan membawakan makanan demi makanan untuk dinikmati, dan para pemain musik mulai bekerja memainkan lagu-lagu yang mengalun indah di telinga. Rasanya seolah-olah semua indra para tamu sedang dimanja.
Tentu saja, 'hidangan' istimewa dalam jamuan ini adalah Nona Parisha.
Semua orang di ruangan menghentikan apapun yang mereka lakukan saat nona itu memasuki ruangan. Para tamu yang sedang makan meletakkan kembali tangan mereka di piring, yang sedang asyik mengobrol berhenti bicara tanpa menyelesaikan kalimat mereka, dan yang sedang tidak punya kegiatan, seperti Menno dan Panglima, tidak berniat melakukan apapun selain memperhatikan nona itu.
Parisha dengan anggun melangkah ke hadapan Putra Agung lalu memberikan salam.
"Putra Agung, sesuai dengan janji saya, malam ini saya akan menari."
Untuk Anda.
Putra Agung mengangguk, lalu mengulurkan tangannya, mempersilakan nona muda itu memamerkan tariannya.
Menno tersenyum melihat mata Nona Parisha berbinar-binar, pipinya yang putih bersemu merah, membuatnya semakin manis dan menarik hati.
Walau Menno rasa, bukan hatinya yang tertarik.
Ia menoleh ke arah Panglima dan tersenyum.
Malam ini akan menjadi malam yang panjang.
YOU ARE READING
Artunis (Artunis #1)
Fantasy"Kenapa tidak boleh?" "Nona, aku mengikuti nasihatmu sendiri." "Seorang gadis tidak seharusnya memberikan hatinya pada seorang pria bertopeng." *** Ada sebuah legenda di Estahr. Sebuah legenda tentang kesetiaan dan kepercayaan. Sebuah legenda ten...