"Salam kepada Putra Agung," sapa Panglima Emiran sambil membungkuk di hadapan Putra Agung Artunis. Namun bagi siapa pun, terlihat jelas bahwa sang Panglima tidak mengucapkannya dari hati.
Panglima Emiran bukanlah orang yang emosional. Sebagai salah satu mentor Putra Agung pada masa kecilnya, Panglima Emiran selalu mengajarkan pentingnya mengendalikan emosi dan menahan diri bagi seorang Panglima. Karena itu melihat Panglima Emiran mengepalkan tangan kuat-kuat dan memberi salam dengan suara bergetar adalah hal yang asing bagi siapapun, terutama bagi Artunis.
"Emiran," balas Artunis.
Emiran bahkan tidak menunggu Putra Agung menanyakan alasan dia datang.
"Putra Agung, bagaimana mungkin kamu menjebloskan Nona Parisha ke penjara?"
Panglima Artunis menoleh ke arah Emiran tapi tidak mengucapkan satu kata pun. Ia malah memberi isyarat kepada Neria untuk menutup pintu di belakang Panglima Pasukan senja tersebut.
"Mazares melakukan kejahatan besar. Seluruh rumah tangganya kini berada dalam penjara," jelasnya kemudian.
"Nona Parisha tidak bersalah."
Artunis mengangguk.
"Aku tahu."
"Putra Agung, kalau kamu sudah tahu, bebaskan dia. Aku bisa menjamin Nona Parisha. Dia tidak perlu ada di sana untuk membayar dosa ayahnya."
Putra Agung mengernyitkan dahinya.
"Apa-apaan ini Emiran? Sejak kapan kamu suka membela keluarga kriminal?"
Emiran memalingkan muka, tidak sanggup membalas tatapan mata Putra Agung. Seandainya Emiran berpikir logis, dia tentu tidak akan berada di sini, membela anggota keluarga seorang pengkhianat besar. Dia tentu tidak akan meminta Putra Agung mencabut hukuman yang wajar bagi anggota keluarga seorang pengkhianat. Tidak langsung membantai seluruh rumah tangga Mazares pun sudah merupakan suatu kebaikan dari Putra Agung. Mana mungkin dia meminta Putra Agung membebaskan Nona Parisha, bahkan menawarkan dirinya sendiri sebagai penjamin?
Tapi kali ini akal sehat Emiran lenyap. Saat ia mendengar bahwa Nona Parisha mendekam di penjara yang dingin dan gelap, emosinya langsung naik. Rasa kesal, marah, takut dan khawatir bercampur menjadi satu. Walaupun dia baru mengenal Nona Parisha, tapi Nona itu adalah temannya. Dia tahu Nona Parisha tidak akan sanggup melukai siapa pun. Ketika dia bergegas menuju penjara untuk menemui gadis itu, namun dihentikan oleh para penjaga, Emiran tidak sanggup lagi menahan perasaannya. Beraninya mereka mengatakan bahwa tidak seorang pun mendapat izin menemui Nona Parisha! Tanpa pikir panjang Panglima itu pergi menuju kediaman Putra Agung dan langsung mendatanginya seperti ini.
Semuanya karena...
"Aku tahu Nona Parisha tidak bersalah. Kumohon, bebaskan dia."
"Aku tahu Nona Parisha tidak bersalah. Tapi aku tidak bisa membebaskannya."
Putra Agung berbalik dan menuju mejanya, meninggalkan Emiran masih dengan tangan terkepal. Tanpa pikir panjang Emiran mendahului Putra Agung dan menghentikannya.
"Kalau begitu, izinkan aku menemui Nona Parisha."
Putra Agung menghela nafas.
"Ada apa antara kamu dan Nona Parisha, Panglima?" tanyanya. "Beri aku alasan untuk memberimu izin menemui gadis itu."
Emiran menatap Putra Agung lekat-lekat, tidak tahu apa ia bisa mengatakan alasannya dengan jelas kepada Putra Agung. Emiran tahu dia menyimpan perasaan pada Parisha. Tapi bukankan Putra Agung juga? Bukankah seantero Estahr mengatakan bahwa Putra Agung dan Parisha saling menyukai? Tapi pria mana yang sanggup menjebloskan wanita yang ia sayangi ke penjara?
KAMU SEDANG MEMBACA
Artunis (Artunis #1)
Fantasy"Kenapa tidak boleh?" "Nona, aku mengikuti nasihatmu sendiri." "Seorang gadis tidak seharusnya memberikan hatinya pada seorang pria bertopeng." *** Ada sebuah legenda di Estahr. Sebuah legenda tentang kesetiaan dan kepercayaan. Sebuah legenda ten...