11. Castareth

2.4K 346 13
                                    

Menno turun dari perahu berbendera lambang keluarga kerajaan dan menapakkan kakinya di Castareth. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tidak datang ke sana. Terakhir kali... Menno sungguh tidak ingat.

Oh, sebenarnya bukan karena hubungan dengan kakaknya tidak baik - mereka benar saling menyayangi. Tapi hubungannya dengan kakak iparnya memang agak rumit.

Pagi ini dia datang dengan pakaian formal Mirchad yang juga sudah lama tidak ia pakai. Bila biasanya rambut hitamnya yang panjang ia ikat asal di bagian bawah, kali ini ia hanya mengikat setengah rambutnya, dan membiarkan sisanya tergerai. Yang jelas, secara sekilas, tidak akan ada yang tahu bahwa pria yang baru saja memasuki gerbang istana itu, dan Menno Karan yang beberapa bulan terakhir ini berkeliaran di jalan-jalan di Estahr, adalah orang yang sama.

Perlahan tapi pasti Menno berjalan menuju kediaman Yang Mulia Raja Wilmar. Setiap kali pengawal menghalanginya, ia mengangkat tangannya dan menunjukkan sebuah tanda pengenal yang terbuat dari emas. Sebagian besar para pengawal di kastil belum pernah melihat dirinya, tapi mereka mengenali tanda itu, dan membiarkannya masuk.

"Di mana Yang Mulia Raja Wilmar?" tanyanya pada salah satu pengawal yang membungkuk.

"Di ruang kerjanya, Yang Mulia," jawab pengawal itu tanpa menegakkan kepalanya.

Menno mengangguk dan melanjutkan langkahnya, lalu mengetuk pelan pintu ruang kerja sang Raja. Suara tegas dari dalam menyuruhnya masuk. Menno membuka pintu dan memasuki ruangan sambil tersenyum.

"Meinrad!" seru Raja Wilmar saat melihat Menno.

"Apa kabar Kakak? Apa Kakak merindukanku?"

***

Menno alias Meinrad menatap laut dari atas salah satu menara di Castareth. Kakaknya, Wilmar, berdiri di sisinya.

"Sejak dulu aku selalu tidak mengerti, kenapa ibu kota kita berada di tempat seterpencil ini," kata Menno.

Castareth dan kastil tempat tinggal sang Raja berada di sebuah pulau di ujung Utara negara Mirchad. Untuk mencapainya, orang harus menggunakan perahu khusus dengan pemeriksaan ketat dan izin yang khusus pula. Karena itu, daripada ibu kota, Castareth lebih mirip kastil berpenghuni monster dalam cerita-cerita kuno.

Katanya pada zaman dahulu kala, Castareth sebetulnya hanyalah sebuah benteng perlindungan. Tapi beberapa ratus tahun yang lalu, keluarga kerajaan memutuskan pindah ke Castareth, menjadikan Castareth sebagai ibu kota pemerintahan, dan meninggalkan Stellegrim sebagai ibu kota dagang di Mirchad. Alasannya untuk keamanan, tapi keamanan macam apa, dia juga tidak terlalu yakin.

Sisi positif Castareth mungkin adalah...laut. Dari menara-menara tinggi di kastil, mereka bisa melihat laut tidak berujung, mendengar bunyi burung camar yang berterbangan tanpa henti, dan bunyi ombak yang menghempas karang. Berada di atas sana, rasanya seolah waktu berhenti - hati menjadi tenang dan pikiran jernih.

Tetap saja, selain itu, Castareth membosankan.

"Seharusnya kamu tidak perlu ambil pusing," ujar Raja Mirchad, "toh adik kecilku ini tidak tinggal di Castareth."

Menno mengangkat bahunya.

Usia Menno, alias Pangeran Meinrad dari Mirchard, terpaut ratusan tahun dengan kakaknya. Tidak lama setelah ia lahir, ayahnya meninggal dan kakaknya naik takhta. Bagi Meinrad, Raja Wilmar-lah yang mengasuh dan membesarkan dirinya. Kalau boleh memilih, dia tentu ingin berada di sisi kakaknya dan membantu meringankan beban kakaknya. Tapi keadaan bicara lain.

Pada usia 30 tahun, Meinrad memutuskan keluar dari istana dan kehidupan politik. Ia pindah ke Stellegrim, hidup seperti anak bangsawan kaya yang tidak punya beban, dan bepergian keliling dunia. Hanya sesekali ia pulang - ketika rindunya kepada sang kakak tidak tertahan, atau ketika ia ada urusan.

"Jadi, kenapa kamu pulang kali ini? Sudah bosan jalan-jalan?"

Meinrad tersenyum. Ia sebenarnya ingin tahu lebih banyak soal Hallstein. Tapi tentu saja ia tidak bisa mengatakannya terus terang kepada sang kakak.

"Aku ingin hadir di festival musim gugur."

***

Pesta musim gugur di Castareth memang selalu megah. Walau bagi Menno, lebih Indah lagi festival yang dilakukan di Stellegrim. Di Stellegrim, saat festival, orang-orang akan berkumpul dengan keluarga, makan bersama, dan berjalan-jalan dengan teman dan saudara. Di Castareth, meskipun seluruh penjuru istana dihiasi hitam dan emas, dan jamuan yang dimasak pantas untuk santapan para dewa, rasanya tidak sehangat makan malam bersama keluarga Eurig di Stellegrim.

Tapi Menno kali ini tidak mengeluh. Ia duduk tenang di sebelah kiri Raja Wilmar, sementara sang Ratu duduk di sebelah kanannya. Satu persatu para bangsawan masuk, membungkuk di hadapan sang Raja, memberikan hadiah atau persembahan bagi rajanya. Menno hanya menonton sambil menyesap teh bunga krisannya. Semua ini tidak ada urusannya dengan dia.

"Saya membawakan pinggan emas dari Surpara untuk Yang Mulia," kata salah satu bangsawan.

Menno mengernyitkan dahi. Betul juga, Surpara terkenal dengan kerajinan emas dan peraknya. Dan selama ini Menno bahkan belum pernah mengunjungi rumah pengrajin emas dan perak di Estahr karena terlalu sibuk dengan lukisan Putra Agung.

Raja Wilmar mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu mempersilakan tamu berikutnya masuk.

"Yang Mulia, ini adalah lukisan Menno Karan - pelukis kenamaan dunia. Saya bawakan khusus untuk Yang Mulia."

Menno melirik kakaknya yang membuka lukisan itu sambil berupaya menahan senyum.

"Aku sudah sering mendengar namanya, tapi belum pernah bertatap muka." Ia menoleh pada ratunya. "Apa kita undang saja ke istana?"

"Yang Mulia," jawab sang Ratu, "saya dengar tidak ada yang tahu dia siapa atau ada di mana."

Sang Raja mengangguk. Menno masih menahan tawa.

Setelah jamuan makan dimulai, telinga Menno mulai bekerja, menumpang dengar semua pembicaraan di sekitarnya.

"Selamat Panglima Hallstein atas penugasan Anda di perbatasan Selatan," ujar seorang bangsawan kepada Hallstein.

"Bukan hal besar," balasnya merendah. Menno mual melihatnya.

"Anda biasanya bergerak cepat dalam peperangan. Saya harap kali ini kita akan mendapatkan Estahr dengan mudah juga."

"Tentu saja. Semakin cepat peperangan selesai, semakin sedikit kerugian negara karena perang."

Lebih sedikit lagi kalau tidak maju perang, pikir Menno.

"Tapi bukankah kita sedang dalam periode gencatan senjata?" tanya bangsawan lainnya.

"Oh, itu bisa diatur."

Bisa diatur? Menno menaikkan alisnya.

"Panglima yang menjaga kota Estahr masih sangat muda... "

Tapi kamu belum pernah bertemu dengannya.

"...dan pasukan kita adalah yang terbaik.. "

Menno masih mau menguping, tapi kakaknya sudah menyenggol sikunya.

"Makan ini," katanya.

Menno melihat hidangan ayam rempah yang kakaknya sangat sukai. Sebenarnya Menno tidak terlalu suka, tapi daripada ia harus repot menolak..

Menno mengambil satu, lalu mencium aromanya. Matanya membesar lalu ia bangkit dan menggebrak meja.

"Tutup semua pintu! Tidak ada yang boleh keluar ruangan! Panggil dokter istana!" serunya lantang.

Raja Wilmar terperanjat.

"Meinrad, apa yang-"

Sang Raja belum menyelesaikan kalimatnya ketika tubuhnya melunglai dan ia tidak sadarkan diri. Menno panik sembari menopang tubuh kakaknya.

"Kakak!!!"

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang