31. Bala Bantuan

1.6K 279 1
                                    

Saat Menno bangun keesokan paginya, Panglima masih duduk di depan mejanya, bertopang dagu, namun dengan mata tertutup.

Menno tidak percaya dia tertidur begitu saja di depan Panglima.

Bagaimana kalau seandainya dia mengigau semalam? Bagaimana kalau seandainya dia mendengkur? Menno mengerjapkan mata, mengumpulkan segenap kesadarannya. Lalu melangkah menuju pintu.

Panglima, yang selalu waspada bahkan dalam tidurnya langsung membuka mata sambil meraih gagang belatinya. Namun ia langsung rileks sewaktu melihat yang menimbulkan suara hanyalah Menno Karan.

"Kamu mau ke mana?" panggilnya.

"Hanya mencari udara segar."

Menno membuka lebar-lebar pintu dan jendela ruangan, kemudian duduk di mulut pintu, menghirup dalam-dalam udara pagi.

"Selamat pagi Putra Agung, selamat pagi Tuan," seorang pelayan dengan nampan di tangannya menyapa mereka berdua. Dia membawakan sarapan pagi sederhana - teh dan makanan kecil. Menno menggumamkan terima kasih, lalu meminta teh bunga krisan dan air panas.

Sebelum mereka bisa memulai sarapan, suara derap langkah beberapa prajurit membuat mereka menoleh ke arah gerbang. Dari sana Askar dan beberapa anak buahnya mendekat. Di belakang mereka, Neria berjalan cepat, berusaha mengikuti kecepatan langkah para prajurit di depannya.

"Lapor Panglima," ujar Askar tanpa basa-basi. "Distribusi obat berjalan lancar, Neria sudah dijemput, dan sementara ini pengawasan dan penjagaan kota berjalan seperti biasa."

Panglima mengangguk.

"Hanya saja beberapa prajurit yang bertugas di tembok Utara jatuh sakit. Sepertinya tertular wabah."

Panglima kembali mengangguk.

"Istirahatkan mereka, lalu bawa ke barak dan karantina."

Askar tertegun. Barak?

"Maaf Panglima, barak pengawal berada begitu dekat dengan kediaman Panglima, apa tidak apa-apa?"

Neria menatap Panglima dan menggeleng. Panglima melirik Menno, seolah meminta persetujuan.

"Selama mereka dikarantina, tidak masalah," jawab Menno. Dia mengerti bahwa Panglima hanya ingin para pengawal mendapat perawatan terbaik. Selain itu Menno juga punya rencana lain. "Lagipula jika mereka dirawat dekat dari sini, lebih mudah mengawasi khasiat obat yang kubuat melalui perkembangan mereka."

Askar bernafas lega. Setidaknya dia tahu saudara-saudara seperjuangannya akan mendapatkan yang terbaik. Oh ya.

"Soal obat, ini laporan dari para tabib dan perawat di tempat-tempat karantina."

Askar menyerahkan beberapa gulungan kertas kepada Panglima, yang memberi isyarat agar memberikannya kepada Menno. Menno mengernyitkan dahinya sebelum terpaksa menerima berkas-berkas itu.

Askar menyelesaikan laporannya dan membungkuk hendak pamit, namun Panglima memanggilnya.

"Mulai sekarang, tolong serahkan laporan-laporan tentang wabah kepada Menno juga, dia akan bertanggung jawab kepadaku soal itu."

***

Menno menghela nafas panjang saat Askar sudah pergi, meninggalkan Menno, Panglima, dan Neria untuk menikmati sarapan bersama.

"Kenapa? Kamu keberatan membantu?" tanya Panglima. "Bukannya kamu kemarin menyuruhku beristirahat?"

Bukannya Menno tidak mau membantu - justru itu yang dia inginkan: membantu. Bukan menjadi penanggung jawab soal penanganan wabah. Kenapa tiba-tiba Panglima malah menyerahkan tugasnya kepada Menno?

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang