12. Serba Salah

2.2K 330 12
                                    

Menno menyesap teh bunga krisannya di ruang tamu kediaman Eurig. Ini minggu kedua setelah kejadian mengerikan di festival, ketika seseorang mencoba membunuh kakaknya.

Menno masih memainkan kejadian itu di kepalanya - bagaimana ia begitu panik sampai mengeluarkan perintah tanpa dipikir, bagaimana kakaknya terkulai lemas di tangannya, bagaimana rasa kaget dan heran terpampang jelas di wajah semua orang di ruangan.

Saat itu para pengawal begitu terpengaruh oleh perintah Menno sampai mereka refleks menutup dan menjaga pintu. Seorang dari mereka lari keluar ruangan memanggil dokter tanpa banyak tanya, dan seorang lagi membawa pelayan yang menyajikan makanan ke ruangan.

Menno tidak bisa berbuat banyak ketika pedang Panglima Hallstein memenggal kepala pelayan yang malang itu tanpa basa-basi dan ketika sekian banyak dokter istana menandu tubuh Raja Wilmar keluar ruangan. Ia yang sudah begitu lama tidak berada di istana, hanya bisa mengikuti alur orang-orang disekitarnya.

"Yang Mulia tidak apa-apa," lapor dokter istana. "Dia hanya perlu istirahat."

Menno tidak terlalu mendengarkan. Ia hanya duduk di sisi ranjang sang kakak sambil menggenggam tangannya.

"Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya sang Ratu.

"Yang Mulia mengkonsumsi bunga mali. Bunga itu mengandung racun dosis sedang. Nyawa Yang Mulia tidak terancam, ia hanya perlu minum penawar dan istirahat beberapa hari."

"Siapa yang berani meracuni Yang Mulia?" seru Panglima Hallstein.

Menno bangkit dan berbalik menatapnya.

"Seandainya Panglima tidak langsung membunuh pelayan itu, mungkin kita bisa bertanya kepadanya," ujar Menno dengan tangan terkepal, berusaha menahan amarah agar suaranya tidak bergetar.

Panglima Hallstein mengunci mulutnya.

"Apa yang kita tahu soal racun ini, Dokter?" tanya sang Ratu, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Bunga mali hanya tumbuh di Surpara, Yang Mulia."

"Aku akan menyelidiki semua orang di istana yang memiliki koneksi ke Surpara," tegas Hallstein.

Menno yang masih dikuasai emosi tergelak pahit.

"Surpara? Bukankah Panglima Hallstein juga punya koneksi ke Surpara?"

Hallstein tampak terkejut. Ia belum pernah melihat Yang Mulia Pangeran Meinrad seperti ini. Biasanya Sang Pangeran lebih memilih diam dan tidak terlibat, dan dia benar.

Kecuali saat orang yang dia sayang diganggu.

"Apa maksudmu, Meinrad? Apa kamu menuduh kakakku meracuni Yang Mulia Raja?"

Menno sedikit tersadar bahwa ucapannya sungguh bodoh. Ia hanya membawa masalah bagi dirinya sendiri bila melawan Hallstein di tempat seperti ini.

"Saya hanya bilang bahwa kita tidak bisa menuduh orang semata-mata karena ia berhubungan dengan Surpara," jawab Menno menetralisir suasana.

Ketika ia sedikit lebih tenang, Menno bisa lebih peka menghadapi situasi di sekelilingnya. Orang-orang di ruangan itu, beberapa menatapnya kaget, beberapa curiga, beberapa bersyukur. Tapi yang jelas, mereka paham bahwa Menno bukan pangeran yang hanya tahu bermain-main seperti yang mereka kira selama ini.

"Tapi syukurlah Yang Mulia Pangeran bertindak sigap dan memanggil kami," ujar para dokter itu. "Makin cepat diobati, makin baik bagi tubuh Yang Mulia Raja."

Menno mengangguk.

"Sepertinya Meinrad sudah tahu bahwa ada racun di makanan itu."

"Aku hanya merasa baunya agak aneh," jawab Menno. Ia bahkan tidak membahas soal Hallstein yang memanggil namanya seenak hati. "Temanku pernah sakit setelah memakan makanan dengan aroma yang mirip."

Artunis (Artunis #1)Where stories live. Discover now