52. Titik Nol

1.6K 292 5
                                    

Artunis perlahan membuka kembali matanya dan menggerakkan tubuhnya. Rasa sakit menjalarinya tidak soal bagian tubuh mana yang ia gerakkan. Kepalanya masih pening, bisa jadi terbentur permukaan keras saat dihempas air. Perut dan punggungnya serasa habis dicabik-cabik dan dipukuli - tergores dan memar. 

Ia sempat bangun beberapa jam lalu, hanya untuk minum air. Ia ingat Menno menghampirinya, menopang tubuhnya, lalu membantunya minum air. Setelah itu pria itu dengan lembut membaringkannya kembali, memeriksa denyut nadi dan suhu tubuhnya, lalu membiarkannya terlelap kembali. 

Panglima menggeser lengannya untuk menyentuh perut atasnya. Ia ingat ada luka panah di situ. Rasa sakitnya luar biasa, tapi jauh lebih baik. Ia bisa mencium aroma obat dari balik pakaiannya. Menno pasti sudah mengobatinya sementara dia tidak sadarkan diri. 

Panglima melirik ke pakaian yang ia kenakan, lalu menelan ludah. Ia merasa kain yang melilit tubuhnya bertekstur lain dengan yang sebelumnya ia kenakan. Bukan, warnanya juga berbeda. Desainnya berbeda. 

Tunggu!

Menno mengganti pakaiannya. Menno mengobatinya. 

Menno sudah tahu. 

Dia sudah tahu.

Nafas Panglima memburu. Dadanya naik turun. Ini semua di luar rencananya. Bagaimana reaksi Menno? Apa dia terkejut? Muak? 

Artunis memejamkan matanya dan menarik nafas panjang. 

Tenang, Artunis, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bukankah sejak awal aku sudah berencana memberitahunya soal ini? Dia tahu sedikit lebih awal bukan masalah besar. 

Tapi meskipun demikian, rasa gelisah terus menggerogoti Artunis. Apa yang akan Menno lakukan setelah mengetahui rahasianya?

Apa dia akan menganggapnya sebagai perempuan jadi-jadian?

Apa dia akan memperlakukannya seperti memperlakukan perempuan?

 Atau apakah ia akan kembali menghilang, lari jauh dari genggaman Artunis?

Bicara soal menghilang.

Menno tidak ada di dalam gua. Jangan-jangan Menno memang pergi saat Artunis tidur barusan. Bagaimana kalau dia meninggalkan Artunis, pergi entah ke mana tanpa petunjuk sedikit pun? 

Nafas Artunis kembali memburu. Dengan sekuat tenaga dia berupaya bangun. Kekuatan tekad Panglima Agung Surpara memang luar biasa - dia sanggup duduk tanpa bantuan, meski tulang dan ototnya terasa remuk jadi serpihan. Hanya saja, sekuat apa pun tekadnya, tubuh Artunis tetaplah darah dan daging. Artunis merasa lukanya terbuka, dan darah mulai meresap ke perbannya. 

"Panglima!" suara Menno menggema dari mulut gua, membaut Artunis merasa tenang seketika. 

Pria itu meletakkan barang-barang yang dia bawa lalu berlari ke arah Artunis. Ia melihat darah keluar dari perut Artunis, lalu membantunya duduk. 

"Lukamu parah. Jangan banyak bergerak."

Menno baru saja hendak membuka kemeja yang Artunis kenakan, namun Panglima dengan cepat menggenggam lengannya. Menno mengernyitkan dahi dan menatap Panglima. 

"Tidak pantas," ujar Panglima menjawab pertanyaan yang bahkan belum Menno ajukan. 

Menno hanya tersenyum, melepaskan tangan Panglima dari lengannya, dan dengan lembut meletakkannya di sisi Panglima. 

"Aku seorang tabib. Apanya yang tidak pantas?"

Menno kembali membuka kemeja Artunis dan memeriksa pembalut lukanya. Artunis memilih diam, namun seluruh tubuhnya tegang seperti patung baja. Mau tidak mau Menno tersenyum dibuatnya. 

Artunis (Artunis #1)Where stories live. Discover now