28. Gosip

1.7K 283 7
                                    

Sesuai janjinya, Liam datang pada permulaan musim panas. Anak muda itu berkuda dari Creig menuju Estahr, menggunakan jalur yang sama yang Panglima gunakan, mengitari hutan. Walau Liam tidak membawa banyak barang, tapi ia membawa semua pesanan Menno. 

"Syukurlah kamu segera datang," kata Menno saat mereka bertemu di restoran. Liam kali ini memilih tinggal di penginapan, agar bisa bebas keluar masuk sesuka hati, katanya. "Bagaimana kabar di ibu kota?"

Liam memicingkan matanya.

"Kenapa Paman akhir-akhir ini peduli sekali dengan ibu kota dan Panglima Hallstein dan Vasa? Bukannya seingatku Paman tidak pernah memperhatikan urusan negara atau urusan politik?"

Menno menghela nafas, malas menjelaskan.

"Sudah jawab saja pertanyaanku."

"Aku tahu. Surat-surat yang Ayah kirim kepada Paman isinya soal Panglima Hallstein semua 'kan?"

"Aku hanya ingin memastikan bahwa aku bisa hidup tenang di Estahr. Bagaimana aku bisa hidup tenang kalau panglima haus darah itu terus-terusan membuat penduduk Estahr khawatir akan perang?"

"Panglima haus darah?" tanya Liam. "Putra Agung Artunis?"

Menno menggetok kepala Liam dengan kepalan tangannya. Sembarangan saja anak ini bicara.

"Tentu saja Hallstein. Sejak kapan Panglima Artunis haus darah?"

Liam terkekeh. Habisnya Menno selalu memanggil Putra Agung dengan sebutan 'Panglima', tanpa nama jelasnya. Liam 'kan jadi bingung. 

"Jangan-jangan Paman memberi informasi militer kepada Putra Agung ya?" Liam tidak mau menyerah. "Tidak boleh lho Paman, itu namanya mengkhianati negara."

Menno mendengus. Mengkhianati negara apanya? Semua urusan ini cuma antara dia dan Hallstein. Menno bisa yakin kakaknya tidak tahu jelas apa yang terjadi di perbatasan. Kalaupun Menno membantu Panglima, dia tidak bisa disebut mengkhianati negara. Yang ada, dia membantu Mirchad dan Surpara mencapai perdamaian. Setidaknya itu niat hatinya. 

Anggap saja Menno sekarang menjabat sebagai Duta Tidak Resmi dari kerajaan Mirchad. 

"Sudah jangan banyak tanya. Beritahu saja aku semua pesan ayahmu."

Liam memandang Menno yang menyumpal mulutnya dengan kue-kue basah dan teh bunga krisan. Sepertinya dia tidak bisa mendapat informasi apa-apa dari Menno, dan hanya bisa berperan sebagai pembawa pesan. 

"Ayah bilang, ada desas-desus di Castareth bahwa sang Ratu sedang hamil."

"Desas-desus?"

Liam mengangguk.

"Beritanya tidak dikeluarkan secara resmi. Jadi yang ada hanya gosip. Tapi kalau menurut Ayah, sepertinya gosip itu benar."

"Sang Ratu sudah beberapa kali keguguran. Mungkin itu alasannya mereka tidak mau mengumumkan kehamilannya kepada rakyat terlebih dahulu. Mungkin Ka-," Menno berdehem, "Raja Wilmar tidak ingin rakyatnya berharap banyak, kemudian kecewa."

Liam menganggukkan kepalanya. 

"Oh, begitu... Eh, sepertinya Paman tahu banyak soal urusan keluarga kerajaan."

Menno menyeringai, lalu kembali memukul kepala Liam.

"Tentu saja. Aku 'kan Menno Karan. Lingkungan pergaulanku bukan orang-orang biasa. Lihat, aku baru berada di Estahr selama dua tahun, dan teman baikku sekarang seorang Putra Agung sekaligus Panglima Tinggi. Mungkin sebentar lagi aku akan tahu gosip-gosip keluarga kerajaan Surpara juga." 

Liam berusaha menahan tawa melihat kenarsisan Menno, tapi pada akhirnya dia tidak bisa menahan tawanya dan malah tergelak. 

"Kalau soal gosip keluarga kerajaan Surpara sih, sepertinya aku tahu lebih banyak daripada Paman."

Artunis (Artunis #1)Where stories live. Discover now